Thursday, 24 May 2012

Menangis Mendengar Adzan

Inginnya mencari kelemahan Islam, justru hidayah yang datang.

Aku lahir 61 tahun yang lalu dari pasangan Yoseph dan Ruht Karatem di Ambon, Maluku. Ayahku seorang penganut Katolik yang kemudian menikah dengan wanita Protestan. Karena ayah masuk dalam komunitas ibu, dia ikut menjadi penganut Protestan.

Keluarga besarku sangat dekat dengan rutinitas keagamaan. Setiap minggu, kami mengikuti kebaktian di gereja. Aku selalu menyimak pesan-pesan pendeta, yang satu di antaranya adalah pamanku.
Sejak SD hingga SMA aku sekolah di sekolah Katolik di Ambon. Meskipun demikian aku tetap menganut keyakinan keluargaku yakni Protestan. Pada 1969, aku memutuskan pindah dan tinggal bersama paman di Semarang untuk kuliah.

Pergaulanku dengan teman-teman di kampus dan di tempat kos lambat laun mengubah persepsiku tentang agama Kristen yang sebelumnya aku anut. Ada semacam kejanggalan yang aku rasakan dalam rutinitas beragamaku. Namun aku tidak bisa memahami secara pasti apa yang bergejolak di dalam hati ini.

Hatiku Berontak
Singkat cerita, setelah bekerja di Jakarta aku menikah dengan Lusia, gadis Katolik. Kami pun tinggal di Bekasi. Setelah memiliki beberapa anak dan mulai besar-besar aku pun turut memeluk Katolik. Sederhana saja sebenarnya, agar anakku tidak memprotesku terus, ”Mengapa yang lain Katolik, Papa kok Protestan?” Aku pun menjadi pengurus wilayah gereja Santa Ana sementara istriku pengurus wanita Katolik di Bintara Jaya, Bekasi, Jawa Barat.

Sejak saat itu akupun mulai resah dengan keyakinan trinitasku. Bagaimana rasionalitasnya Tuhan itu tiga dalam satu, satu dalam tiga? Setiap Romo -sebutan Pastur/pemuka agama Kristen Katolik- yang kutanya tidak satu pun yang dapat memberikan jawaban yang membuat batinku puas menerima.

Seumur hidupku baru sekali mengikuti ibadah pengakuan dosa kepada Romo. Itu pun terpaksa karena mengikuti Ekaristi (Misa Kudus, salah satu ritual dalam Katolik) pada tahun 1996.

Hati kecilku berontak. Mengapa aku harus mengaku dosa kepada sesama manusia? Toh Romo juga manusia biasa seperti aku, apalagi aku tahu kehidupan sehari-hari si Romo tersebut yang tidak luput dari salah dan dosa. Sehingga aku jadi semakin ragu dengan agama Kristen. Aku pun jadi ogah-ogahan ke gereja dan tidak lagi memakai tanda salib saat berdoa sebelum makan bersama istri dan anak-anak di rumah. Anak-anak mempertanyakan hal itu tetapi aku tidak menjawabnya secara gamblang.

Belajar Islam
Ketika ada konflik Islam-Kristen di Ambon pada 1998-1999, semangat kekristenanku bangkit kembali. Aku mulai tertarik mencari kelemahan Islam. Karena dari kelemahan itulah aku berniat untuk menyerang Islam.

Di rumah sepulang bekerja dan setiap ada kesempatan, aku mulai membeli buku-buku Islam untuk dicari-cari kelemahannya. Tapi mengapa yang dikafani, disunat itu malah orang Islam bukan orang Kristen. Di Alkitab disebutkan Tuhan Yesus mati dan dikafani pakai kain kafan. Terbukti dengan disimpannya kain kafan bekas wajah Yesus di gereja Turino, Italia. Di samping itu Tuhan Yesus pun disunat pada umur 8 hari.

Timbul pertanyaan dibenakku, lantas yang mana yang meneruskan ajaran Yesus itu? Orang Islam atau orang Kristen. Satu lagi yang mencengangkanku, ternyata Islam menjawab kegundahanku, yakni dalam terjemahan Alquran disebutkan Allah itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. ”Nah, ini baru benar!” ujarku dalam hati. Namun aku tetap beraktivitas layaknya orang Kristen yang terombang-ambing dalam kebimbangan.

Selang satu tahun kemudian, rupanya hidayah Allah mulai menghampiriku. Setiap kali pulang kerja dari kantor di Sunter Jakarta Utara menuju rumahku, aku terkesima mendengar alunan suara adzan Maghrib yang menggema di sepanjang jalan.

Awalnya hatiku terasa tenang dan teduh. Lambat laun, suara itu memberiku keindahan rasa yang tidak bisa aku gambarkan dengan kata-kata. Bahkan beberapa kali aku sempat menangis mendengar lantunan berbahasa Arab yang tidak aku pahami maknanya. Merasa ada yang kosong dalam jiwa. Tapi waktu itu, aku belum berani mengungkapkan pengalaman ruhani yang dasyat ini kepada siapapun.

Di hari libur kebiasaan ini pun berlanjut. Sempat ketika kami sekeluarga jalan-jalan, anak-anak marah kalau melihatku seperti itu ketika mendengar azan Maghrib. “Mengapa Papa begitu?” tanyanya. Kujawab, ”Ya tidak apa-apa toh!” Kemudian aku biasa lagi agar mereka tidak ribut.

Tidak puas dengan buku-buku, akupun mempelajari Islam lewat internet. Pada suatu pagi di awal 2004, seperti pagi-pagi sebelumnya aku berdoa kepada Yesus di salah satu sudut rumah. Namun kali ini kegelisahanku memuncak.

Tanpa sadar waktu itu aku menghadap ke arah kiblat. Selesai berdoa, suatu keajaiban terjadi. Aku melihat bangunan Ka'bah persis di hadapanku. Bangunan hitam persegi empat benar-benar nyata, seakan aku berada di Masjidil Haram. Aku betul-betul takjub. Aku merasa saat itu sedang bermimpi, tapi terasa nyata.

Peristiwa itu semakin memperbesar motivasiku untuk mendalami Islam. Aku mulai membicarakannya dengan beberapa teman dekat yang beragama Islam. Masih penasaran, aku pun ingin mengetahui Islam dari pemuka-pemuka Islam yang dulunya Kristen. Mengapa aku cari Ustadz yang mualaf? Karena aku yakin mereka akan lebih mengerti aku daripada ulama yang sejak lahir beragama Islam.

Teman Muslimku itu pun menganjurkan agar aku bertandang ke yayasan AMA, sebuah lembaga khusus menaungi para mualaf. Dari yayasan itu aku dipertemukan dengan Dr. Bambang Sukamto yang memperkenalkan aku dengan dua orang ustadz yaitu Ustadz Insan Mokoginta dari Depok dan Ustadz Wahid Laziman (William Brodus) dari Yogyakarta. Dari keduanya aku banyak berdiskusi dan belajar tentang Islam.

Diskusi ini lebih difokuskan pada bedah bible dan Alquran. Satu persatu keganjilan ajaran Kristen terungkap di hadapanku. Selain diskusi secara rutin, akupun banyak membaca buku-buku tentang islamologi dan kristologi. Dari situ aku mulai mengkritisi posisi Paulus pimpinan tertinggi umat Kristen Katolik.

Dalam Alkitab Perjanjian Baru yang berisi perkataan Yesus (yang dalam Islam disebut sebagai Nabi Isa Al Masih alahissalam) dan murid-muridnya, tidak ada satupun yang menyebutkan posisi Paulus. Paulus bukanlah siapa-siapa. Dia hanya belajar dari salah seorang sahabat Nabi Isa dan tidak pernah bertemu langsung dengannya. Akhirnya aku berkesimpulan bahwa ajaran Kristen yang sekarang adalah ajaran yang dibuat Paulus. Perayaan Natal 25 Desember misalnya, sebenarnya diadopsi dari perayaan Dewa Matahari. Bukan perayaan kelahiran Yesus.

Setelah meyakini kebohongan dalam Kristen, aku mulai memantapkan hati untuk menganut ajaran Islam. Aku mulai belajar shalat, bacaan Al Fatihah aku hafalkan ketika menyetir mobil, tulisan latin Al Fatihah itu aku sengaja taruh di ponsel agar keluarga dan teman-temanku tidak mencurigai kecenderungan hatiku untuk masuk Islam. Tapi saat itu, aku belum shalat karena belum masuk Islam.

Aku senang sekali kalau Maghrib sudah sampai di rumah dan sendirian di depan televisi. Suaranya kumatikan, agar tidak terdengar istri atau anakku. Sengaja aku lihat gerakan orang wudhu pada tayangan adzan maghrib di televisi. Karena aku mulai tertarik untuk belajar Islam. Belajar shalat dan wudhu.
Hingga akhirnya pada 16 Januari 2005, aku memutuskan untuk masuk Islam dengan mengucap dua kalimat syahadat disaksikan oleh Dr Bambang Sukamto dan rekan-rekan Yayasan AMA di Masjid Namirah, Tebet, Jakarta Selatan.
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Followers

Networked Blogs

Allah