Inginnya mencari kelemahan Islam, justru hidayah yang datang.
Aku
lahir 61 tahun yang lalu dari pasangan Yoseph dan Ruht Karatem di
Ambon, Maluku. Ayahku seorang penganut Katolik yang kemudian menikah
dengan wanita Protestan. Karena ayah masuk dalam komunitas ibu, dia ikut
menjadi penganut Protestan.
Keluarga besarku sangat dekat dengan
rutinitas keagamaan. Setiap minggu, kami mengikuti kebaktian di gereja.
Aku selalu menyimak pesan-pesan pendeta, yang satu di antaranya adalah
pamanku.
Sejak SD hingga SMA aku sekolah di sekolah Katolik di
Ambon. Meskipun demikian aku tetap menganut keyakinan keluargaku yakni
Protestan. Pada 1969, aku memutuskan pindah dan tinggal bersama paman di
Semarang untuk kuliah.
Pergaulanku dengan teman-teman di kampus
dan di tempat kos lambat laun mengubah persepsiku tentang agama Kristen
yang sebelumnya aku anut. Ada semacam kejanggalan yang aku rasakan dalam
rutinitas beragamaku. Namun aku tidak bisa memahami secara pasti apa
yang bergejolak di dalam hati ini.
Hatiku Berontak
Singkat
cerita, setelah bekerja di Jakarta aku menikah dengan Lusia, gadis
Katolik. Kami pun tinggal di Bekasi. Setelah memiliki beberapa anak dan
mulai besar-besar aku pun turut memeluk Katolik. Sederhana saja
sebenarnya, agar anakku tidak memprotesku terus, ”Mengapa yang lain
Katolik, Papa kok Protestan?” Aku pun menjadi pengurus wilayah gereja
Santa Ana sementara istriku pengurus wanita Katolik di Bintara Jaya,
Bekasi, Jawa Barat.
Sejak saat itu akupun mulai resah dengan
keyakinan trinitasku. Bagaimana rasionalitasnya Tuhan itu tiga dalam
satu, satu dalam tiga? Setiap Romo -sebutan Pastur/pemuka agama Kristen
Katolik- yang kutanya tidak satu pun yang dapat memberikan jawaban yang
membuat batinku puas menerima.
Seumur hidupku baru sekali
mengikuti ibadah pengakuan dosa kepada Romo. Itu pun terpaksa karena
mengikuti Ekaristi (Misa Kudus, salah satu ritual dalam Katolik) pada
tahun 1996.
Hati kecilku berontak. Mengapa aku harus mengaku dosa
kepada sesama manusia? Toh Romo juga manusia biasa seperti aku, apalagi
aku tahu kehidupan sehari-hari si Romo tersebut yang tidak luput dari
salah dan dosa. Sehingga aku jadi semakin ragu dengan agama Kristen. Aku
pun jadi ogah-ogahan ke gereja dan tidak lagi memakai tanda salib saat
berdoa sebelum makan bersama istri dan anak-anak di rumah. Anak-anak
mempertanyakan hal itu tetapi aku tidak menjawabnya secara gamblang.
Belajar Islam
Ketika
ada konflik Islam-Kristen di Ambon pada 1998-1999, semangat
kekristenanku bangkit kembali. Aku mulai tertarik mencari kelemahan
Islam. Karena dari kelemahan itulah aku berniat untuk menyerang Islam.
Di
rumah sepulang bekerja dan setiap ada kesempatan, aku mulai membeli
buku-buku Islam untuk dicari-cari kelemahannya. Tapi mengapa yang
dikafani, disunat itu malah orang Islam bukan orang Kristen. Di Alkitab
disebutkan Tuhan Yesus mati dan dikafani pakai kain kafan. Terbukti
dengan disimpannya kain kafan bekas wajah Yesus di gereja Turino,
Italia. Di samping itu Tuhan Yesus pun disunat pada umur 8 hari.
Timbul
pertanyaan dibenakku, lantas yang mana yang meneruskan ajaran Yesus
itu? Orang Islam atau orang Kristen. Satu lagi yang mencengangkanku,
ternyata Islam menjawab kegundahanku, yakni dalam terjemahan Alquran
disebutkan Allah itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.
”Nah, ini baru benar!” ujarku dalam hati. Namun aku tetap beraktivitas
layaknya orang Kristen yang terombang-ambing dalam kebimbangan.
Selang
satu tahun kemudian, rupanya hidayah Allah mulai menghampiriku. Setiap
kali pulang kerja dari kantor di Sunter Jakarta Utara menuju rumahku,
aku terkesima mendengar alunan suara adzan Maghrib yang menggema di
sepanjang jalan.
Awalnya hatiku terasa tenang dan teduh. Lambat
laun, suara itu memberiku keindahan rasa yang tidak bisa aku gambarkan
dengan kata-kata. Bahkan beberapa kali aku sempat menangis mendengar
lantunan berbahasa Arab yang tidak aku pahami maknanya. Merasa ada yang
kosong dalam jiwa. Tapi waktu itu, aku belum berani mengungkapkan
pengalaman ruhani yang dasyat ini kepada siapapun.
Di hari libur
kebiasaan ini pun berlanjut. Sempat ketika kami sekeluarga jalan-jalan,
anak-anak marah kalau melihatku seperti itu ketika mendengar azan
Maghrib. “Mengapa Papa begitu?” tanyanya. Kujawab, ”Ya tidak apa-apa
toh!” Kemudian aku biasa lagi agar mereka tidak ribut.
Tidak puas
dengan buku-buku, akupun mempelajari Islam lewat internet. Pada suatu
pagi di awal 2004, seperti pagi-pagi sebelumnya aku berdoa kepada Yesus
di salah satu sudut rumah. Namun kali ini kegelisahanku memuncak.
Tanpa
sadar waktu itu aku menghadap ke arah kiblat. Selesai berdoa, suatu
keajaiban terjadi. Aku melihat bangunan Ka'bah persis di hadapanku.
Bangunan hitam persegi empat benar-benar nyata, seakan aku berada di
Masjidil Haram. Aku betul-betul takjub. Aku merasa saat itu sedang
bermimpi, tapi terasa nyata.
Peristiwa itu semakin memperbesar
motivasiku untuk mendalami Islam. Aku mulai membicarakannya dengan
beberapa teman dekat yang beragama Islam. Masih penasaran, aku pun ingin
mengetahui Islam dari pemuka-pemuka Islam yang dulunya Kristen. Mengapa
aku cari Ustadz yang mualaf? Karena aku yakin mereka akan lebih
mengerti aku daripada ulama yang sejak lahir beragama Islam.
Teman
Muslimku itu pun menganjurkan agar aku bertandang ke yayasan AMA,
sebuah lembaga khusus menaungi para mualaf. Dari yayasan itu aku
dipertemukan dengan Dr. Bambang Sukamto yang memperkenalkan aku dengan
dua orang ustadz yaitu Ustadz Insan Mokoginta dari Depok dan Ustadz
Wahid Laziman (William Brodus) dari Yogyakarta. Dari keduanya aku banyak
berdiskusi dan belajar tentang Islam.
Diskusi ini lebih
difokuskan pada bedah bible dan Alquran. Satu persatu keganjilan ajaran
Kristen terungkap di hadapanku. Selain diskusi secara rutin, akupun
banyak membaca buku-buku tentang islamologi dan kristologi. Dari situ
aku mulai mengkritisi posisi Paulus pimpinan tertinggi umat Kristen
Katolik.
Dalam Alkitab Perjanjian Baru yang berisi perkataan
Yesus (yang dalam Islam disebut sebagai Nabi Isa Al Masih alahissalam)
dan murid-muridnya, tidak ada satupun yang menyebutkan posisi Paulus.
Paulus bukanlah siapa-siapa. Dia hanya belajar dari salah seorang
sahabat Nabi Isa dan tidak pernah bertemu langsung dengannya. Akhirnya
aku berkesimpulan bahwa ajaran Kristen yang sekarang adalah ajaran yang
dibuat Paulus. Perayaan Natal 25 Desember misalnya, sebenarnya diadopsi
dari perayaan Dewa Matahari. Bukan perayaan kelahiran Yesus.
Setelah
meyakini kebohongan dalam Kristen, aku mulai memantapkan hati untuk
menganut ajaran Islam. Aku mulai belajar shalat, bacaan Al Fatihah aku
hafalkan ketika menyetir mobil, tulisan latin Al Fatihah itu aku sengaja
taruh di ponsel agar keluarga dan teman-temanku tidak mencurigai
kecenderungan hatiku untuk masuk Islam. Tapi saat itu, aku belum shalat
karena belum masuk Islam.
Aku senang sekali kalau Maghrib sudah
sampai di rumah dan sendirian di depan televisi. Suaranya kumatikan,
agar tidak terdengar istri atau anakku. Sengaja aku lihat gerakan orang
wudhu pada tayangan adzan maghrib di televisi. Karena aku mulai tertarik
untuk belajar Islam. Belajar shalat dan wudhu.
Hingga akhirnya pada
16 Januari 2005, aku memutuskan untuk masuk Islam dengan mengucap dua
kalimat syahadat disaksikan oleh Dr Bambang Sukamto dan rekan-rekan
Yayasan AMA di Masjid Namirah, Tebet, Jakarta Selatan.
Thursday, 24 May 2012
0 Comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)