Silih bergantinya hari dan
bulan adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi setiap muslim. Betapa
tidak, Allah telah melimpahkan berbagai rahmat dan kemurahan-Nya kepada
umat Islam, berupa kebaikan dan amalan sholih yang
disyari’atkan pada hari-hari atau bulan-bulan itu. Dalam sepekan
misalnya, ada hari Jum’at yang padanya terdapat sejumlah keutamaan, ada
Senin dan Kamis yang merupakan waktu puasa sunnah yang telah dimaklumi
keutamaannya. Demikian pula di berbagai bulan ada sejumlah keutamaan
padanya, seperti bulan Ramadhan, bulan Dzul Hijjah dan lain-lainnya.
Maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk mengenal dan mengetahui
apa yang dituntunkan agamanya di saat menyongsong bulan-bulan tersebut
agar kehidupannya -insyâ’ Allah- menjadi suatu yang sangat
berarti dan penuh kebahagiaan di dunia yang fana ini dan sangat bermakna
untuk akhiratnya kelak. Namun jangan lupa, bahwa di masa ini sangat
banyak terjadi bentuk ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki
dasar tuntunannya dalam syari’at kita, karena itu haruslah dibedakan
antara hal yang dituntunkan dengan hal yang tidak ada tuntunannya bahkan
merupakan perkara baru dalam agama alias bid’ah. Seluruh hal ini harus
diperhatikan agar “maksud memetik nikmat” tidak berubah menjadi “menuai
petaka”1.
Berkenaan dengan datangnya
bulan Sya’ban 1427H, maka berikut ini kami ketengahkan kepada para
pembaca yang budiman, beberapa hadits yang berkaitan dengan bulan
Sya’ban. Diuraikannya hadits-hadits shohih yang berkaitan dengan bulan
Sya’ban ini adalah dalam rangka mengingatkan bahwa hadits-hadits
tersebut sepatutnya diamalkan, adapun dijelaskannya hadits-hadits yang
lemah adalah dalam rangka menyampaikan nasehat untuk kaum muslimin agar
menghindarinya. Semoga Allah mencurahkan taufiq dan ‘inâyah-Nya kepada
kita semua.
Beberapa Hadits Shohih Seputar Sya’ban
Hadits Pertama
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ
حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ
فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ
أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ
“Adalah Rasulullah
shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata
bahwa beliau tidak akan berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata
bahwa beliau tidak akan/pernah berpuasa, maka saya tidak pernah melihat
Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyempurnakan
puasa sebulan selain bulan Ramadhan dan tidaklah saya melihat paling
banyaknya beliau berpuasa di bulan Sya’ban.”
Takhrijul Hadits
Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 1969, Muslim no. 1156, Abu Dâud no. 2434, An-Nasâ’i 4/151 dan Ibnu Majah no. 1710 dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.
Fiqih Hadits
Hadits di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, sebab
hal tersebut merupakan puasa wajib terhadap kaum muslimin. Adapun puasa
sunnah maka kebanyakan puasa beliau adalah pada bulan Sya’ban.
Hadits Kedua
مَا
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ
يَصُوْمُ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya tidak pernah
melihat Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa dua
bulan berturut-turut kecuali pada Sya’ban dan Ramadhan.”
Takhrijul Hadits
Hadits di atas, dikeluarkan
oleh Abu Dâud no. 2336, At-Tirmidzy no. 735, An-Nasâ’i 4/151, 200,
Ad-Dârimy 2/29 dan lain-lainnya dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ. Dan sanadnya shohih.
Fiqih Hadits
Hadits di atas, lebih mempertegas bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Bukan artinya beliau puasa
Sya’ban sebulan penuh sebagaimana yang kadang dipahami dari konteks
hadits di atas, karena orang yang berpuasa di kebanyakan hari pada suatu
bulan, oleh orang Arab, dikatakan dia telah berpuasa sebulan penuh.
Maka tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan hadits-hadits
sebelumnya. Demikian keterangan Imam Ibnul Mubarak rahimahullâh dalam mengkompromikan antara dua hadits di atas.2
Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh, beliau berpendapat bahwa dua hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam pada sebagian tahun beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh dan pada sebagian lainnya beliau hanya berpuasa pada kebanyakan saja.3
Hadits Ketiga
Fari Usamah bin Zaid radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam
suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Maka beliau
menjawab,
ذَلِكَ شَهْرٌ
يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ
فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعُ
عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
“Itu adalah bulan antara
Rajab dan Ramadhan yang manusia lalai darinya. Dan ia adalah bulan yang
padanya segala amalan akan diangkat kepada Rabbul ‘Alamin. Maka saya
senang amalanku diangkat sementara saya sedang berpuasa.”
Takhrijul Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 5/201, Ibnu Abu Syaibah 2/347, An-Nasâ’i 4/201, Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’âny Al-Atsâr 2/82, Al-Baihaqy dalam Syu’bul Imân 3/377 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/18. Dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/103 dan Tamâmul Minnah hal. 412.
Fiqih Hadits
Berkata Ibnu Rajab rahimahullâh, “Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
telah menyebutkan bahwa tatkala (bulan Sya’ban) dihimpit oleh dua bulan
yang agung; bulan Harom (Rajab) dan bulan Puasa (Ramadhan), maka
manusia pun sibuk dengan keduanya sehingga (Sya’ban) terlalaikan. Dan
banyak manusia yang menyangka bahwa puasa Rajab lebuh afdhal dari puasa (Sya’ban) karena ia adalah bulan haram, dan hakikatnya tidak demikian.”4
Dan dari hadits di atas, para ulama juga memetik dua hikmah kenapa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
banyak berpuasa di bulan Sya’ban, yaitu karena banyak manusia yang
lalai darinya dan beliau senang amalan beliau terangkat sedangkan beliau
dalam keadaan berpuasa.
Dan sebagian ulama
menyebutkan bahwa hikmah dari puasa Sya’ban adalah sebagai latihan guna
menghadapi puasa Ramadhan. Tatkala seseorang telah merasakan manis dan
lezatnya berpuasa di bulan Sya’ban, maka ia akan masuk pada bulan
Ramadhan dalam keadaan penuh semangat dan kesiapan serta telah terbiasa
untuk berpuasa.5
Hadits Keempat
يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ مُشْرِكٌ أَوْ مَشَاحِنٌ
“Allah melihat
kepada makhluk-Nya pada malam nishfu (pertengahan) Sya’ban lalu
mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang
bertikai.”
Hadits di atas dikeluarkan
oleh sejumlah Imam Ahli Hadist dari hadits Abu Bakr Ash-Shiddîq, Mu’âdz
bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyany, ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash, Abu Musa Al-‘Asy’ary, ‘Auf bin Mâlik, ‘Utsmân bil
Abil ‘Ash dan Abu Umâmah Al-Bâhily radhiyallâhu ‘anhum, Dan hadits di atas dishohîhkan oleh Syaikh Al-Albany dari seluruh jalannya.6
Hadits di atas adalah satu-satunya hadits shohîh7
yang menunjukkan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Dan hal ini berlaku
bagi mereka yang mempunyai kebiasaan beribadah pada malam hari yang
bertepatan dengan malam nishfu Sya’ban. Ini bukanlah berarti bahwa
diizinkan untuk melakukan ibadah-ibadah khusus yang tidak pernah
dilakukan pada hari-hari lainnya sebagaimana kebiasaan sebagian manusia
yang menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara khusus.
Tidak pernah dinukil dari Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam
dan para shahabatnya ada yang menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara
khusus dengan melaksanakan shalat lail dengan melebihkan malam-malam
lainnya, apalagi melakukan ritual-ritual khusus yang sama sekali tidak
ada tuntunannya dalam agama kita.8
Hadits-Hadits Lemah Seputar Sya’ban
Hadits Pertama
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا
دَخَلَ رَجَبَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Adalah Nabi shollallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bila beliau telah memasuki bulan Rajab
beliau berdoa: ‘Ya Allah, berkahilah untuk kami bulan Rajab dan Sya’ban
dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ahmad 1/259, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 4/no. 3939 dan dalam Ad-Du’â’ no. 911, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/375 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/269 dari jalan Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd dari Ziyâd An-Numairy dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd menurut Imam Al-Bukhâry munkarul hadits, dan Ziyâd An-Numairy juga lemah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizânul I’tidâl. Dan hadits di atas dilemahkan pula oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dho’îful Jami’.
Hadits Kedua
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَرُبَّمَا أَخَرَ ذَلِكَ حَتَّى
يَجْتَمِعَ عَلَيْهَ صَوْمُ السَّنَةِ وَرُبَّمَا أَخَّرَهُ حَتَّى
يَصُوْمُ شَعْبَانُ
“Adalah Rasulullah shollallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam biasa berpuasa tiga hari dalam sebulan.
Dan kadang beliau mengakhirkan hal tersebut hingga terkumpul puasa
setahun, dan kadang beliau akhirkan hingga beliau berpuasa Sya’ban.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 2/no. 2098. Dan dalam sanadnya ada ‘Abdurrahman Ibnu Abi Lailah dan beliau dha’îful hadîts (lemah haditsnya). Demikian keterangan Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawâ’id 3/441 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâry 4/214.
Hadits Ketiga
رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِي وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِىْ
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulannya umatku.”
Derajat Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/374 dari jalan Nûh bin Abi Maryam dari Zaid Al-‘Ammy dari Yazid Ar-Raqâsyi dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu. Berkata Al-Baihaqy setelah meriwayatkannya, “Sanad ini sangatlah mungkar.” Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyîn Al-Ujab telah menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits palsu dari kedustaan Nuh bin Abi Maryam.
Dan Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’îfah no. 4400 menyebutkan bahwa Al-Ashbahâny dalam At-Targhîb membawakan riwayat lain dengan sanad yang mursal dari AL-Hasan Al-Bashry. Dan demikian pula disebutkan oleh Asy-Syaukâny dalam Nailul Authâr 4/331, 621 dikeluarkan oleh Abul Fath Ibnu Abil Fawâris.
Hadits Keempat
فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ
عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ
الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ
اللهِ عَلَى عِبَادِهِ
“Keutamaan Rajab
terhadap bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’ân
terhadap dzikir-dzikir selainnya, dan keutamaan Sya’ban terhadap
bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan Muhammad terhadap
nabi-nabi selainnya, dan keutamaan Ramadhan terhadap bulan-bulan
selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap segenap hamba-Nya.”
Derajat Hadits
Hadits di atas adalah hadits palsu. Demikian keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyîn Al-Ujab sebagaimana dalam Kasyful Khafa’ karya Al-Ajlûny 2/85 dan Al-Mashnû’ fi Ma’rifah Al-Hadits Al-Maudhû’ karya ‘Ali Qâri’ hal. 128.
Hadits Kelima
سُئِلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَيُّ
الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ فَقَالَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيْمِ
رَمَضَانَ، قِيْلَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فِيْ
رَمَضَانَ
“Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ditanya, ‘Puasa apakah afdhol*
setelah Ramadhan?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban, untuk mengagungkan
Ramadhan.’ Kemudian ditanyakan lagi, ‘Shodaqah apakah yang afdhol?’
Beliau menjawab, ‘Shodaqah pada bulan Ramadhan.’”
Derajat Hadits
Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy no. 663 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Dan dalam sanadnya ada Shodaqah bin Musa dan beliau dho’îful hadîts. Hadits ini dilemahkan oleh At-Tirmidzy, As-Suyuthy dan Al-Albany.9 Demikian pula dilemahkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar10 dan beliau menganggap bahwa hadits di atas menyelisihi hadits Abu Hurairah riwayat Muslim no. 1163 dengan lafazh,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَّلاَةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik puasa
setelah Ramadhan adalah bulan Allah Al-Muharram, dan sebaik-baik shalat
setelah shalat wajib adalah shalat lail.”
Bulan Al-Muharram yang
diinginkan dalam hadits mungkin bulan Muharram yang merupakan awal bulan
dalam penanggalan Islam dan mungkin juga seluruh bulan harom dalam
Islam yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.11
Hadits Keenam
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ
حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ
وَكَانَ أَكْثَرَ فِيْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ مَالِيْ
أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِيْ شَعْبَانَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّهُ
شَهْرٌ يُنْسَخُ لِمَلَكِ الْمَوْتِ مِنْ يَقْبَضُ فَأُحِبُّ أَنْ لاَ
يُنْسَخَ اسْمِيْ إِلاَّ وَأَنَا صَائِمٌ
“Adalah Rasulullah shollallâhu
‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata bahwa
beliau tidak (akan/pernah) berbuka, dan beliau berbuka hingga kami
berkata bahwa beliau tidak (akan/pernah) berpuasa, dan kebanyakan puasa
beliau pada bulan Sya’ban. Maka saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kenapa
saya melihat kebanyakan puasamu (adalah) pada bulan Sya’ban?’ Beliau
berkata, ‘Wahai ‘Aisyah, ia adalah bulan yang dituliskan untuk malaikat
maut siapa yang akan dicabut nyawanya, maka saya senang namaku ditulis
sedang saya dalam keadaan berpuasa.’”
Derajat Hadits
Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal 1/250-251 dari hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Beliau menanyakan kedudukan hadits ini kepada ayahnya, Abu Hatim -salah seorang pakar Ilalul hadits di masanya-. Maka Abu Hatim berkomentar bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar.
Hadits Ketujuh
خَمْسُ
لَيَالٍ لاَ تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَةُ: أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَب،
وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةُ
الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ
“Ada lima malam yang
tidak tertolak padanya doa: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu
Sya’ban, malam Jum’at, mala ‘Iedul Fitri dan malam ‘Iedul Adha.”
Derajat Hadits
Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asâkir dan Ad-Dailamy dari hadits Abu Umâmah Al-Bâhily radhiyallâhu ‘anhu. Demikian keterangan Syaikh Al-Albâny dalam Adh-Dha’îfah no. 1452 dan beliau memvonis hadits di atas sebagai hadits maudhû’ (palsu).
Hadits Kedelapan
إِذَا
كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا
وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ
الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مَسْتَغْفِرٍ
لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهَ أَلاَ
مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ
الْفَجْرُ
“Bila datang malam
nishfu Sya’ban maka lakukanlah Qiyam Lail dan puasa pada siang harinya,
karena ketika matahari terbenam Allah turun pada malam itu ke langit
dunia dan berkata, ‘Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku
akan mengampuninya, adakah yang memohon rezki, niscaya Aku akan
memberikannya, adakah yang tertimpa penyakit, niscaya Aku akan
menyembuhkannya, adakah…, adakah… hingga terbit fajar.’”
Derajat Hadits
Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjah no. 1388, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/378, Al-Mizzy dalam Tahdzîbul Kamâl. Seluruh ulama sepakat akan lemahnya hadits di atas. Namun Syaikh Al-Albâny dalam Adh-Dha’îfah
no. 2132 berpendapat bahwa sanad hadits di atas adalah palsu, karena
Ibnu Abi Sarbah -salah seorang perawinya- telah dicap oleh Ahmad bin
Hanbal dan Yahya bin Ma’in sebagai pemalsu hadits.
Hadits Kesembilan
مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَي الْعِيْدَيْنِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Siapa yang menghidupkan
malam dua ‘Ied dan malam nishfu Sya’ban, niscaya hatinya tidak akan
mati pada hari semua hati menjadi mati.”
Derajat Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ibnu Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanâhiyah 2/71-72 dari shahabat Kurdûs radhiyallâhu ‘anhu. Demikian pula disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishôbah 5/585 dan Ibnu Atsîr dalam Usudul Ghâbah 1/931. Al-Hâfizh menyatakan bahwa Marwân bin Salîm -salah seorang perawinya- adalah seorang rawi yang matrûk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta). Dalam Lisânul Mizân
pada biografi ‘Isa bin Ibrahim bin Thahmân -salah seorang perawi hadits
di atas- Ibnu Hajar menghukumi hadits di atas sebagai hadits yang
mungkar lagi mursal.
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِيْئَ رَمَضَانُ
“Apabila masuk pertengahan dari bulan Sya’ban maka tidak ada lagi puasa hingga datangnya bulan Ramadhan.”
Derajat Hadits
Hadits di atas dikeluarkan
oleh ‘Abdurrazzâq 4/161, Ibnu Abi Syaibah 2/284, Ahmad 2/442, Ad-Dârimy
2/29, Abu Dâud no. 2337, Ibnu Mâjah no. 1651, Ibnu Hibbân no. 3589,
3591, Ad-Dâruquthny 2/191, Ath-Thâhawy dalam Syarah Ma’âny Al-Atsâr 2/82, Ibnu Ady dalam Al-Kâmil 5/280, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 7/no. 6863 dan dalam Musnad Asy-Syamiyyîn no. 1827, Al-Baihaqy 4/209 dan Al-Khathib 8/48.
Terjadi silang pendapat di
kalangan para ulama tentang kedudukan hadits di atas. Kesimpulan dari
apa yang disebutkan oleh Ibnu Rajab12, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah13, Ibnu Hajar14, dan Al-‘Ainy15
bahwa hadits dishohihkan oleh At-Tirmidzy, Ath-Thâhawy, Ibnu Hibban,
Al-Hakim, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Asakir dan Ibnu Hazm. Di versi lain,
hadits di atas telah dilemahkan oleh sejumlah ulama yang lebih besar dan
lebih berilmu dari mereka dimana mereka berkata bahwa hadits di atas
adalah hadits yang mungkar. Demikian komentar Imam Ahmad, ‘Abdurrahman
bin Mahdi, Abu Zur’ah Ar-Razy dan Al-Atsram serta diikuti oleh Abu Ya’la
Al-Khalily16 dan Az-Zarkasyi17 dan
lainlainnya. Imam Ahmad berkata bahwa hadits di atas adalah hadits yang
paling mungkar yang diriwayatkan oleh Al-‘Alâ’ bin ‘Abdurrahman.
Dan insya’ Allah
pendapat para ulama yang melemahkannya ini yang paling tepat, karena
mereka mereka itulah yang merupakan rujukan dan acuan dalam masalah
kedudukan dan derajat sebuah hadits.
Hadits Kesebelas
يَا
عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ
بِأَلْفِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ قَضَى اللهُ لَتهُ كَلَّ حَاجَةٍ
طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Wahai ‘Ali, siapa yang
shalat malam nishfu Sya’ban seratus raka’at dengan (membaca) ‘Qul
Huwallâhu Ahad’ seribu (kali) maka Allah akan menunaikan seluruh hajat
yang dia minta pada malam itu.”
Derajat Hadits
Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78 dan Asy-Syaukâny dalam Al-Fawâ’id Al-Majmû’ah hal. 50-51 sebagai hadits yang maudhû’ (palsu). Dan baca pula lafazh yang mirip dengannya dalam Lisânul Mizân karya Al-Hâfizh Ibnu Hajar pada biografi Muhammad bin Sa’îd Ath-Thabary.
Berkata Syaikh Ibnu Baz rahimahullâh, “Adapun (hadits-hadits) yang menjelaskan tentang shalat pada malam (nishfu Sya’ban) seluruhnya adalah maudhû’ (palsu) sebagaimana yang diingatkan oleh banyak ulama.”18
Dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa orang yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban ada tiga tingkatan:
Satu: Orang
yang melakukan kebiasaan shalatnya sebagaimana hari-hari lainnya, tanpa
meyakini adanya keutamaan khusus bagi orang yang melakukan shalat pada
malam nishfu Sya’ban. Yang seperti ini tidak mengapa, karena tidak ada
padanya bentuk bid’ah dalam agama.
Dua: Ia melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban tidak pada selainnya. Ini adalah bid’ah dalam agama, karena Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya dan tidak mencontohkannya.
Tiga: Ia
melakukan shalat dengan jumlah raka’at tertentu pada setiap tahun. Ini
lebih besar bid’ahnya dan lebih jauh dari Sunnah ketimbang yang kedua.
Karena hadits-hadits tentang hal tersebut semuanya maudhû’ (palsu).19
Hadits Kedua Belas
مَنْ
قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ
أَحَدٌ بَعَثَ اللهُ إِلَيْهِ مِئَةَ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَهُ
“Siapa yang membaca pada
malam nishfu Sya’ban ‘Qul Huwallâhu Ahad’ seribu kali, niscaya Allah
akan mengutus untuknya seratus ribu malaikat memberi kabar gembira
kepadanya.”
Derajat Hadits
Hadits ini disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Lisânul Mizân pada biografi Muhammad bin ‘Abd bin ‘Amir As-Samaqandy sebagai salah satu bentuk/(contoh) hadits palsunya. Dan disebutkan pula oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78.
Hadits Ketiga Belas
مَنْ
صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً
يِقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
شُفِّعَ فِيْ عَشَرَةٍ قَدِ اسْتَوْجُبُوْا النَّارَ
“Siapa yang shalat pada
malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at ia membaca ‘Qul
Huwallâhu Ahad’ tiga puluh kali, niscaya Allah akan mengizinkannya untuk
memberi syafa’at kepada sepuluh orang yang telah wajib masuk neraka.”
Derajat Hadits
Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78 sebagai hadits yang maudhû’ (palsu).
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh,
“Yang mengherankan, ada sebagian orang yang telah menghirup harumnya
ilmu Sunnah tertipu dengan igauan ini dan melakukan shalat itu. Padahal
shalat tersebut hanya diada-adakan setelah empat ratus tahun
(munculnya/lahirnya) Islam dan munculnya di Baitul Maqdis, kemudian
dipalsukanlah sejumlah hadits tentangnya.”
Hadits Keempat Belas
مَنْ
أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْخَمْسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ: لَيْلَةُ
التَّرْوِيَةِ، وَلَيْلَةُ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ، وَلَيْلَةُ
الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
“Siapa yang menghidupkan malam-malam yang lima (ini), maka wajib baginya surga: malam Tarwiyah*, malam ‘Arafah, malam ‘Iedul Adha, malam ‘Iedul Fitri dan malam nishfu Sya’ban.”
Derajat Hadits
Hadits di atas dikeluarkan
oleh Al-Ashbahâny dari Mu’âdz bin Jabal, dan dianggap sebagai hadits
palsu oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dha’îf At-Targhîb no. 667.
Bid’ah-bid’ah Seputar Sya’ban
Sebagai tambahan faedah
terhadap penyebutan hadits-hadits di atas, maka berikut ini beberapa
keterangan para ulama berkaitan dengan sejumlah bid’ah yang berkembang
di tengah kaum muslimin pada bulan Sya’ban20:
1. Merayakan malam nishfu Sya’ban.
2. Mengkhususkan
shalat seratus raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan membaca surah
Al-Ikhlash sebanyak seribu kali. Shalat ini dinamakan shalat Alfiyah.
3. Mengkhususkan shalat pada malam nishfu Sya’ban dan berpuasa pada siang harinya.
4. Mengkhususkan doa pada malam nishfu Sya’ban.
5. Shalat enam raka’at dengan maksud menolak bala, dipanjangkan umur dan berkecukupan.
6. Seluruh doa yang dibaca ketika memasuki bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Karena semua bersumber dari hadits yang lemah.
7. Menghidupkan api dan lilin pada malam nishfu Sya’ban.
8. Berziarah ke kuburan pada malam nishfu Sya’ban dan menghidupkan api di sekitarnya. Dan kadang para perempuan juga ikut keluar.
9. Mengkhususkan membaca surah Yasin pada malam nishfu Sya’ban.
10. Mengkhususkan berziarah kubur pada bulan Rajab, Sya’ban, Ramadhan dan pada hari ‘Ied.
11. Mengkhususkan bershodaqah bagi ruh yang telah meninggal pada tiga bulan tersebut.
12. Meyakini bahwa malam nishfu Sya’ban adalah malam Lailatul Qadri.
13. Membuat
makanan pada hari nishfu Sya’ban kemudian membagikannya kepada fakir
miskin dengan anggapan makanan untuk kedua orang tua yang meninggal
Sumber
Sumber