Thursday, 21 June 2012

Hadits-Hadits Seputar Bulan Sya’ban

Silih bergantinya hari dan bulan adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi setiap muslim. Betapa tidak, Allah telah melimpahkan berbagai rahmat dan kemurahan-Nya kepada umat Islam, berupa kebaikan dan amalan sholih yang disyari’atkan pada hari-hari atau bulan-bulan itu. Dalam sepekan misalnya, ada hari Jum’at yang padanya terdapat sejumlah keutamaan, ada Senin dan Kamis yang merupakan waktu puasa sunnah yang telah dimaklumi keutamaannya. Demikian pula di berbagai bulan ada sejumlah keutamaan padanya, seperti bulan Ramadhan, bulan Dzul Hijjah dan lain-lainnya. Maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk mengenal dan mengetahui apa yang dituntunkan agamanya di saat menyongsong bulan-bulan tersebut agar kehidupannya -insyâ’ Allah- menjadi suatu yang sangat berarti dan penuh kebahagiaan di dunia yang fana ini dan sangat bermakna untuk akhiratnya kelak. Namun jangan lupa, bahwa di masa ini sangat banyak terjadi bentuk ritual ibadah yang sama sekali tidak memiliki dasar tuntunannya dalam syari’at kita, karena itu haruslah dibedakan antara hal yang dituntunkan dengan hal yang tidak ada tuntunannya bahkan merupakan perkara baru dalam agama alias bid’ah. Seluruh hal ini harus diperhatikan agar “maksud memetik nikmat” tidak berubah menjadi “menuai petaka”1.
Berkenaan dengan datangnya bulan Sya’ban 1427H, maka berikut ini kami ketengahkan kepada para pembaca yang budiman, beberapa hadits yang berkaitan dengan bulan Sya’ban. Diuraikannya hadits-hadits shohih yang berkaitan dengan bulan Sya’ban ini adalah dalam rangka mengingatkan bahwa hadits-hadits tersebut sepatutnya diamalkan, adapun dijelaskannya hadits-hadits yang lemah adalah dalam rangka menyampaikan nasehat untuk kaum muslimin agar menghindarinya. Semoga Allah mencurahkan taufiq dan ‘inâyah-Nya kepada kita semua.
Beberapa Hadits Shohih Seputar Sya’ban
Hadits Pertama
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ
“Adalah Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata bahwa beliau tidak akan/pernah berpuasa, maka saya tidak pernah melihat Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyempurnakan puasa sebulan selain bulan Ramadhan dan tidaklah saya melihat paling banyaknya beliau berpuasa di bulan Sya’ban.”
Takhrijul Hadits
Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry no. 1969, Muslim no. 1156, Abu Dâud no. 2434, An-Nasâ’i 4/151 dan Ibnu Majah no. 1710 dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ.
Fiqih Hadits
Hadits di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, sebab hal tersebut merupakan puasa wajib terhadap kaum muslimin. Adapun puasa sunnah maka kebanyakan puasa beliau adalah pada bulan Sya’ban.
Hadits Kedua
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ شَهْرَيْنِ مَتَتَابِعَيْنِ إِلاَّ شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ
“Saya tidak pernah melihat Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali pada Sya’ban dan Ramadhan.”
Takhrijul Hadits
Hadits di atas, dikeluarkan oleh Abu Dâud no. 2336, At-Tirmidzy no. 735, An-Nasâ’i 4/151, 200, Ad-Dârimy 2/29 dan lain-lainnya dari Ummu Salamah radhiyallâhu ‘anhâ. Dan sanadnya shohih.
Fiqih Hadits
Hadits di atas, lebih mempertegas bahwa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam paling banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Bukan artinya beliau puasa Sya’ban sebulan penuh sebagaimana yang kadang dipahami dari konteks hadits di atas, karena orang yang berpuasa di kebanyakan hari pada suatu bulan, oleh orang Arab, dikatakan dia telah berpuasa sebulan penuh. Maka tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan hadits-hadits sebelumnya. Demikian keterangan Imam Ibnul Mubarak rahimahullâh dalam mengkompromikan antara dua hadits di atas.2
Adapun Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullâh, beliau berpendapat bahwa dua hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam pada sebagian tahun beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh dan pada sebagian lainnya beliau hanya berpuasa pada kebanyakan saja.3
Hadits Ketiga
Fari Usamah bin Zaid radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata kepada Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam suatu bulan sebagaimana engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?” Maka beliau menjawab,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَب وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعُ عَمَلِيْ وَأَنَا صَائِمٌ
“Itu adalah bulan antara Rajab dan Ramadhan yang manusia lalai darinya. Dan ia adalah bulan yang padanya segala amalan akan diangkat kepada Rabbul ‘Alamin. Maka saya senang amalanku diangkat sementara saya sedang berpuasa.”
Takhrijul Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad 5/201, Ibnu Abu Syaibah 2/347, An-Nasâ’i 4/201, Ath-Thahawy dalam Syarah Ma’âny Al-Atsâr 2/82, Al-Baihaqy dalam Syu’bul Imân 3/377 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 9/18. Dan sanadnya dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwâ’ul Ghalîl 4/103 dan Tamâmul Minnah hal. 412.
Fiqih Hadits
Berkata Ibnu Rajab rahimahullâh, “Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam telah menyebutkan bahwa tatkala (bulan Sya’ban) dihimpit oleh dua bulan yang agung; bulan Harom (Rajab) dan bulan Puasa (Ramadhan), maka manusia pun sibuk dengan keduanya sehingga (Sya’ban) terlalaikan. Dan banyak manusia yang menyangka bahwa puasa Rajab lebuh afdhal dari puasa (Sya’ban) karena ia adalah bulan haram, dan hakikatnya tidak demikian.”4
Dan dari hadits di atas, para ulama juga memetik dua hikmah kenapa Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban, yaitu karena banyak manusia yang lalai darinya dan beliau senang amalan beliau terangkat sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa.
Dan sebagian ulama menyebutkan bahwa hikmah dari puasa Sya’ban adalah sebagai latihan guna menghadapi puasa Ramadhan. Tatkala seseorang telah merasakan manis dan lezatnya berpuasa di bulan Sya’ban, maka ia akan masuk pada bulan Ramadhan dalam keadaan penuh semangat dan kesiapan serta telah terbiasa untuk berpuasa.5
Hadits Keempat
يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ مُشْرِكٌ أَوْ مَشَاحِنٌ
“Allah melihat kepada makhluk-Nya pada malam nishfu (pertengahan) Sya’ban lalu mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang musyrik dan orang yang bertikai.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh sejumlah Imam Ahli Hadist dari hadits Abu Bakr Ash-Shiddîq, Mu’âdz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyany, ‘Aisyah, Abu Hurairah, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Abu Musa Al-‘Asy’ary, ‘Auf bin Mâlik, ‘Utsmân bil Abil ‘Ash dan Abu Umâmah Al-Bâhily radhiyallâhu ‘anhum, Dan hadits di atas dishohîhkan oleh Syaikh Al-Albany dari seluruh jalannya.6
Hadits di atas adalah satu-satunya hadits shohîh7 yang menunjukkan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Dan hal ini berlaku bagi mereka yang mempunyai kebiasaan beribadah pada malam hari yang bertepatan dengan malam nishfu Sya’ban. Ini bukanlah berarti bahwa diizinkan untuk melakukan ibadah-ibadah khusus yang tidak pernah dilakukan pada hari-hari lainnya sebagaimana kebiasaan sebagian manusia yang menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara khusus.
Tidak pernah dinukil dari Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan para shahabatnya ada yang menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara khusus dengan melaksanakan shalat lail dengan melebihkan malam-malam lainnya, apalagi melakukan ritual-ritual khusus yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam agama kita.8
Hadits-Hadits Lemah Seputar Sya’ban
Hadits Pertama
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
“Adalah Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bila beliau telah memasuki bulan Rajab beliau berdoa: ‘Ya Allah, berkahilah untuk kami bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ahmad 1/259, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 4/no. 3939 dan dalam Ad-Du’â’ no. 911, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/375 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/269 dari jalan Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd dari Ziyâd An-Numairy dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd menurut Imam Al-Bukhâry munkarul hadits, dan Ziyâd An-Numairy juga lemah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizânul I’tidâl. Dan hadits di atas dilemahkan pula oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dho’îful Jami’.
Hadits Kedua
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَرُبَّمَا أَخَرَ ذَلِكَ حَتَّى يَجْتَمِعَ عَلَيْهَ صَوْمُ السَّنَةِ وَرُبَّمَا أَخَّرَهُ حَتَّى يَصُوْمُ شَعْبَانُ
“Adalah Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam biasa berpuasa tiga hari dalam sebulan. Dan kadang beliau mengakhirkan hal tersebut hingga terkumpul puasa setahun, dan kadang beliau akhirkan hingga beliau berpuasa Sya’ban.”
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 2/no. 2098. Dan dalam sanadnya ada ‘Abdurrahman Ibnu Abi Lailah dan beliau dha’îful hadîts (lemah haditsnya). Demikian keterangan Al-Haitsamy dalam Majma’ Az-Zawâ’id 3/441 dan Ibnu Hajar dalam Fathul Bâry 4/214.
Hadits Ketiga
رَجَبُ شَهْرُ اللهِ وَشَعْبَانُ شَهْرِي وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِىْ
“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulannya umatku.”
Derajat Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/374 dari jalan Nûh bin Abi Maryam dari Zaid Al-‘Ammy dari Yazid Ar-Raqâsyi dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu ‘anhu. Berkata Al-Baihaqy setelah meriwayatkannya, “Sanad ini sangatlah mungkar.” Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyîn Al-Ujab telah menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits palsu dari kedustaan Nuh bin Abi Maryam.
Dan Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dha’îfah no. 4400 menyebutkan bahwa Al-Ashbahâny dalam At-Targhîb membawakan riwayat lain dengan sanad yang mursal dari AL-Hasan Al-Bashry. Dan demikian pula disebutkan oleh Asy-Syaukâny dalam Nailul Authâr 4/331, 621 dikeluarkan oleh Abul Fath Ibnu Abil Fawâris.
Hadits Keempat
فَضْلُ رَجَبَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ الْقُرْآنِ عَلَى سَائِرِ الأَذْكَارِ، وَفَضْلُ شَعْبَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ مُحَمَّدٍ عَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ، وَفَضْلُ رَمَضَانَ عَلَى سَائِرِ الشُّهُوْرِ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ
“Keutamaan Rajab terhadap bulan-bulan yang lain adalah seperti keutamaan Al-Qur’ân terhadap dzikir-dzikir selainnya, dan keutamaan Sya’ban terhadap bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan Muhammad terhadap nabi-nabi selainnya, dan keutamaan Ramadhan terhadap bulan-bulan selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap segenap hamba-Nya.”
Derajat Hadits
Hadits di atas adalah hadits palsu. Demikian keterangan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tabyîn Al-Ujab sebagaimana dalam Kasyful Khafa’ karya Al-Ajlûny 2/85 dan Al-Mashnû’ fi Ma’rifah Al-Hadits Al-Maudhû’ karya ‘Ali Qâri’ hal. 128.
Hadits Kelima
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الصَّوْمِ أَفْضَلُ بَعْدَ رَمَضَانَ؟ فَقَالَ شَعْبَانُ لِتَعْظِيْمِ رَمَضَانَ، قِيْلَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ صَدَقَةٌ فِيْ رَمَضَانَ
“Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam ditanya, ‘Puasa apakah afdhol* setelah Ramadhan?’ Beliau menjawab, ‘Sya’ban, untuk mengagungkan Ramadhan.’ Kemudian ditanyakan lagi, ‘Shodaqah apakah yang afdhol?’ Beliau menjawab, ‘Shodaqah pada bulan Ramadhan.’”
Derajat Hadits
Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy no. 663 dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Dan dalam sanadnya ada Shodaqah bin Musa dan beliau dho’îful hadîts. Hadits ini dilemahkan oleh At-Tirmidzy, As-Suyuthy dan Al-Albany.9 Demikian pula dilemahkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar10 dan beliau menganggap bahwa hadits di atas menyelisihi hadits Abu Hurairah riwayat Muslim no. 1163 dengan lafazh,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَّلاَةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah Al-Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat lail.”
Bulan Al-Muharram yang diinginkan dalam hadits mungkin bulan Muharram yang merupakan awal bulan dalam penanggalan Islam dan mungkin juga seluruh bulan harom dalam Islam yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.11
Hadits Keenam
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ وَكَانَ أَكْثَرَ فِيْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ مَالِيْ أَرَى أَكْثَرَ صِيَامِكَ فِيْ شَعْبَانَ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّهُ شَهْرٌ يُنْسَخُ لِمَلَكِ الْمَوْتِ مِنْ يَقْبَضُ فَأُحِبُّ أَنْ لاَ يُنْسَخَ اسْمِيْ إِلاَّ وَأَنَا صَائِمٌ
“Adalah Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam berpuasa hingga kami berkata bahwa beliau tidak (akan/pernah) berbuka, dan beliau berbuka hingga kami berkata bahwa beliau tidak (akan/pernah) berpuasa, dan kebanyakan puasa beliau pada bulan Sya’ban. Maka saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kenapa saya melihat kebanyakan puasamu (adalah) pada bulan Sya’ban?’ Beliau berkata, ‘Wahai ‘Aisyah, ia adalah bulan yang dituliskan untuk malaikat maut siapa yang akan dicabut nyawanya, maka saya senang namaku ditulis sedang saya dalam keadaan berpuasa.’”
Derajat Hadits
Hadits di atas disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Ilal 1/250-251 dari hadits ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Beliau menanyakan kedudukan hadits ini kepada ayahnya, Abu Hatim -salah seorang pakar Ilalul hadits di masanya-. Maka Abu Hatim berkomentar bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar.
Hadits Ketujuh
خَمْسُ لَيَالٍ لاَ تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَّعْوَةُ: أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَب، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، وَلَيْلَةُ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ
“Ada lima malam yang tidak tertolak padanya doa: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu Sya’ban, malam Jum’at, mala ‘Iedul Fitri dan malam ‘Iedul Adha.”
Derajat Hadits
Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asâkir dan Ad-Dailamy dari hadits Abu Umâmah Al-Bâhily radhiyallâhu ‘anhu. Demikian keterangan Syaikh Al-Albâny dalam Adh-Dha’îfah no. 1452 dan beliau memvonis hadits di atas sebagai hadits maudhû’ (palsu).
Hadits Kedelapan
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا. فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مَسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهَ أَلاَ مُبْتَلَى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Bila datang malam nishfu Sya’ban maka lakukanlah Qiyam Lail dan puasa pada siang harinya, karena ketika matahari terbenam Allah turun pada malam itu ke langit dunia dan berkata, ‘Adakah yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuninya, adakah yang memohon rezki, niscaya Aku akan memberikannya, adakah yang tertimpa penyakit, niscaya Aku akan menyembuhkannya, adakah…, adakah… hingga terbit fajar.’”
Derajat Hadits
Dikeluarkan oleh Ibnu Mâjah no. 1388, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/378, Al-Mizzy dalam Tahdzîbul Kamâl. Seluruh ulama sepakat akan lemahnya hadits di atas. Namun Syaikh Al-Albâny dalam Adh-Dha’îfah no. 2132 berpendapat bahwa sanad hadits di atas adalah palsu, karena Ibnu Abi Sarbah -salah seorang perawinya- telah dicap oleh Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in sebagai pemalsu hadits.
Hadits Kesembilan
مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَي الْعِيْدَيْنِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Siapa yang menghidupkan malam dua ‘Ied dan malam nishfu Sya’ban, niscaya hatinya tidak akan mati pada hari semua hati menjadi mati.”
Derajat Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Ibnu Jauzy dalam Al-‘Ilal Al-Mutanâhiyah 2/71-72 dari shahabat Kurdûs radhiyallâhu ‘anhu. Demikian pula disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishôbah 5/585 dan Ibnu Atsîr dalam Usudul Ghâbah 1/931. Al-Hâfizh menyatakan bahwa Marwân bin Salîm -salah seorang perawinya- adalah seorang rawi yang matrûk (ditinggalkan haditsnya) dan muttaham bil kadzib (dituduh berdusta). Dalam Lisânul Mizân pada biografi ‘Isa bin Ibrahim bin Thahmân -salah seorang perawi hadits di atas- Ibnu Hajar menghukumi hadits di atas sebagai hadits yang mungkar lagi mursal.
إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِيْئَ رَمَضَانُ
“Apabila masuk pertengahan dari bulan Sya’ban maka tidak ada lagi puasa hingga datangnya bulan Ramadhan.”
Derajat Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzâq 4/161, Ibnu Abi Syaibah 2/284, Ahmad 2/442, Ad-Dârimy 2/29, Abu Dâud no. 2337, Ibnu Mâjah no. 1651, Ibnu Hibbân no. 3589, 3591, Ad-Dâruquthny 2/191, Ath-Thâhawy dalam Syarah Ma’âny Al-Atsâr 2/82, Ibnu Ady dalam Al-Kâmil 5/280, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 7/no. 6863 dan dalam Musnad Asy-Syamiyyîn no. 1827, Al-Baihaqy 4/209 dan Al-Khathib 8/48.
Terjadi silang pendapat di kalangan para ulama tentang kedudukan hadits di atas. Kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Rajab12, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah13, Ibnu Hajar14, dan Al-‘Ainy15 bahwa hadits dishohihkan oleh At-Tirmidzy, Ath-Thâhawy, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Asakir dan Ibnu Hazm. Di versi lain, hadits di atas telah dilemahkan oleh sejumlah ulama yang lebih besar dan lebih berilmu dari mereka dimana mereka berkata bahwa hadits di atas adalah hadits yang mungkar. Demikian komentar Imam Ahmad, ‘Abdurrahman bin Mahdi, Abu Zur’ah Ar-Razy dan Al-Atsram serta diikuti oleh Abu Ya’la Al-Khalily16 dan Az-Zarkasyi17 dan lainlainnya. Imam Ahmad berkata bahwa hadits di atas adalah hadits yang paling mungkar yang diriwayatkan oleh Al-‘Alâ’ bin ‘Abdurrahman.
Dan insya’ Allah pendapat para ulama yang melemahkannya ini yang paling tepat, karena mereka mereka itulah yang merupakan rujukan dan acuan dalam masalah kedudukan dan derajat sebuah hadits.
Hadits Kesebelas
يَا عَلِيُّ مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ مِئَةَ رَكْعَةٍ بِأَلْفِ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ قَضَى اللهُ لَتهُ كَلَّ حَاجَةٍ طَلَبَهَا تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Wahai ‘Ali, siapa yang shalat malam nishfu Sya’ban seratus raka’at dengan (membaca) ‘Qul Huwallâhu Ahad’ seribu (kali) maka Allah akan menunaikan seluruh hajat yang dia minta pada malam itu.”
Derajat Hadits
Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78 dan Asy-Syaukâny dalam Al-Fawâ’id Al-Majmû’ah hal. 50-51 sebagai hadits yang maudhû’ (palsu). Dan baca pula lafazh yang mirip dengannya dalam Lisânul Mizân karya Al-Hâfizh Ibnu Hajar pada biografi Muhammad bin Sa’îd Ath-Thabary.
Berkata Syaikh Ibnu Baz rahimahullâh, “Adapun (hadits-hadits) yang menjelaskan tentang shalat pada malam (nishfu Sya’ban) seluruhnya adalah maudhû’ (palsu) sebagaimana yang diingatkan oleh banyak ulama.”18
Dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa orang yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban ada tiga tingkatan:
Satu: Orang yang melakukan kebiasaan shalatnya sebagaimana hari-hari lainnya, tanpa meyakini adanya keutamaan khusus bagi orang yang melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban. Yang seperti ini tidak mengapa, karena tidak ada padanya bentuk bid’ah dalam agama.
Dua: Ia melakukan shalat pada malam nishfu Sya’ban tidak pada selainnya. Ini adalah bid’ah dalam agama, karena Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya dan tidak mencontohkannya.
Tiga: Ia melakukan shalat dengan jumlah raka’at tertentu pada setiap tahun. Ini lebih besar bid’ahnya dan lebih jauh dari Sunnah ketimbang yang kedua. Karena hadits-hadits tentang hal tersebut semuanya maudhû’ (palsu).19
Hadits Kedua Belas
مَنْ قَرَأَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ أَلْفَ مَرَّةٍ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ بَعَثَ اللهُ إِلَيْهِ مِئَةَ أَلْفِ مَلَكٍ يُبَشِّرُوْنَهُ
“Siapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban ‘Qul Huwallâhu Ahad’ seribu kali, niscaya Allah akan mengutus untuknya seratus ribu malaikat memberi kabar gembira kepadanya.”
Derajat Hadits
Hadits ini disebutkan oleh Al-Hâfizh Ibnu Hajar dalam Lisânul Mizân pada biografi Muhammad bin ‘Abd bin ‘Amir As-Samaqandy sebagai salah satu bentuk/(contoh) hadits palsunya. Dan disebutkan pula oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78.
Hadits Ketiga Belas
مَنْ صَلَّى لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ثِنْتَيْ عَشَرَ رَكْعَةً يِقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ شُفِّعَ فِيْ عَشَرَةٍ قَدِ اسْتَوْجُبُوْا النَّارَ
“Siapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, pada setiap raka’at ia membaca ‘Qul Huwallâhu Ahad’ tiga puluh kali, niscaya Allah akan mengizinkannya untuk memberi syafa’at kepada sepuluh orang yang telah wajib masuk neraka.”
Derajat Hadits
Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Manâr Al-Munîf hal. 78 sebagai hadits yang maudhû’ (palsu).
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Yang mengherankan, ada sebagian orang yang telah menghirup harumnya ilmu Sunnah tertipu dengan igauan ini dan melakukan shalat itu. Padahal shalat tersebut hanya diada-adakan setelah empat ratus tahun (munculnya/lahirnya) Islam dan munculnya di Baitul Maqdis, kemudian dipalsukanlah sejumlah hadits tentangnya.”
Hadits Keempat Belas
مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْخَمْسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ: لَيْلَةُ التَّرْوِيَةِ، وَلَيْلَةُ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةُ النَّحْرِ، وَلَيْلَةُ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
“Siapa yang menghidupkan malam-malam yang lima (ini), maka wajib baginya surga: malam Tarwiyah*, malam ‘Arafah, malam ‘Iedul Adha, malam ‘Iedul Fitri dan malam nishfu Sya’ban.”
Derajat Hadits
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Ashbahâny dari Mu’âdz bin Jabal, dan dianggap sebagai hadits palsu oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dha’îf At-Targhîb no. 667.
Bid’ah-bid’ah Seputar Sya’ban
Sebagai tambahan faedah terhadap penyebutan hadits-hadits di atas, maka berikut ini beberapa keterangan para ulama berkaitan dengan sejumlah bid’ah yang berkembang di tengah kaum muslimin pada bulan Sya’ban20:
1. Merayakan malam nishfu Sya’ban.
2. Mengkhususkan shalat seratus raka’at pada malam nishfu Sya’ban dengan membaca surah Al-Ikhlash sebanyak seribu kali. Shalat ini dinamakan shalat Alfiyah.
3. Mengkhususkan shalat pada malam nishfu Sya’ban dan berpuasa pada siang harinya.
4. Mengkhususkan doa pada malam nishfu Sya’ban.
5. Shalat enam raka’at dengan maksud menolak bala, dipanjangkan umur dan berkecukupan.
6. Seluruh doa yang dibaca ketika memasuki bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Karena semua bersumber dari hadits yang lemah.
7. Menghidupkan api dan lilin pada malam nishfu Sya’ban.
8. Berziarah ke kuburan pada malam nishfu Sya’ban dan menghidupkan api di sekitarnya. Dan kadang para perempuan juga ikut keluar.
9. Mengkhususkan membaca surah Yasin pada malam nishfu Sya’ban.
10. Mengkhususkan berziarah kubur pada bulan Rajab, Sya’ban, Ramadhan dan pada hari ‘Ied.
11. Mengkhususkan bershodaqah bagi ruh yang telah meninggal pada tiga bulan tersebut.
12. Meyakini bahwa malam nishfu Sya’ban adalah malam Lailatul Qadri.
13. Membuat makanan pada hari nishfu Sya’ban kemudian membagikannya kepada fakir miskin dengan anggapan makanan untuk kedua orang tua yang meninggal

Sumber 

Monday, 18 June 2012

Shalat 5 Waktu Pembeda Muslim dari Orang Kafir

Shalat 5 Waktu – Rukun Islam yang kedua. Rukun Islam yang kedua (setelah membaca 2 kalimat syahadat) adalah shalat 5 waktu (Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya). Dalam Al Qur’an Allah memerintahkan kita untuk shalat 5 waktu:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” [Al Israa’:78]
… Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An Nisaa’:103]
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’“ [Al Baqarah:43]
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” [Al Kautsar:2]
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” [Al Baqarah:110]
a. Shalat Bisa Mencegah Perbuatan Keji Dan Munkar
Shalat bisa mencegah perbuatan keji dan munkar:
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al ‘Ankabuut:45]
Shalat untuk mengingat Allah:
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [Thaahaa:14]
b. Didiklah Anak/Keluarga Anda Untuk Shalat
Didiklah anak/keluarga anda untuk shalat:
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” [Luqman:17]
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya” (Thaha : 132)
“Hendaknya kita tetap memelihara/mengerjakan shalat kita: “Peliharalah semua Shalat(mu), dan peliharalah shalat wusthaa” (Al Baqarah :238)
Shalat sangat penting. Shalat adalah tiang agama. Siapa yang tidak mengerjakannya berarti dia meruntuhkan agama:
“Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama, dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama” (HR. Baihaqi)
c. Shalat Pembeda Orang Islam dengan Orang Kafir
Pembeda antara orang muslim dengan kafir adalah shalat. Barang siapa tidak shalat berarti dia kafir:
“Batas antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346, At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079)
Amal yang pertama dihisab adalah shalat. Begitu dia tidak shalat, meski puasa, zakat, haji, rajin sedekah, dia langsung dimasukkan ke neraka:
Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seseorang hamba nanti pada hari kiamat ialah shalat, maka apabila shalatnya baik (lengkap), maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika shalatnya itu rusak (kurang lengkap) maka rusaklah segala amalan yang lain” (Thabrani)
Jangan sampai kita dan keluarga kita yang sudah baligh bolong-bolong shalatnya. Apalagi sampai meninggalkannya. Orang yang tidak mengerjakan shalat disiksa di neraka:
“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….” (Al-Muddatstsir: 42-43)
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dari mengerjakan shalatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)
“Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kerugian.” (Maryam: 59)
d. Shalat Tepat Waktu dan Berjama’ah
Hendaknya kita shalat tepat waktu:
Pekerjaan yang sangat disuka Allah, ialah mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Sesudah itu berbakti kepada ibu-bapak. Sesudah itu berjihad menegakkan agama Allah” (Bukhori dan Muslim)
Jika shalat 5 waktu, hendaknya berjama’ah: Anas r.a.:
Nabi SAW selalu memotivasi umatnya untuk sholat berjamaah dan melarang mereka pergi keluar sebelum imam mereka pergi (Muslim)
Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, pahalanya berlipat ganda sampai duapuluh tujuh derajat (dibandingkan dengan shalat sendirian) (Bukhori dan Muslim)
Jika shalat berjama’ah, jangan mendahului imam. Tunggu imam ruku dulu, baru anda ruku. Tunggu imam sujud dulu, baru anda sujud: Rasul Bersabda: Takutlah kamu bila angkat kepalamu dari sujud mendahului imam, karena Allah akan ubah kepalamu jadi kepala keledai (Bukhori dan Muslim)
Ummu Salamah r.a.: Bila selesai salam pada saat sholat di masjid, Rasul berhenti sejenak agar wanita pulang lebih dahulu sebelum pria (Bukhori)
Semoga kita di akhirat nanti termasuk dalam golongan orang yang mengerjakan shalat.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Friday, 15 June 2012

Peristiwa Isra Mi’raj

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
 Artinya :
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami pertihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S.Al-Israa’:1)

Isra’ Mi’raj adalah peristiwa luar biasa yang dialami Rasulullah pada malam 27 Rajab tahun ke 12 kenabian, begitu luar biasanya sehingga Allah mengfirmankan ayat yang menjadi petunjuk mengenai hal tersebut dengan kata SUBHANA, sebuah ungkapan ketika melihat kejadian yang menakjubkan. Menurut imam Al Harits : Tasbih itu berfungsi sebagai bantahan yang menolak kepada orang-or-ang kafir, karena setelah nabi Muhammad SAW menceritakan kepada mereka tentang Isra’ mereka mendustakannya. Jadi artinya adalah bahwa Maha Suci Allah dari menjadikan seorang Rasul yang bohong.
Isra’ dan Mi’raj merupakan dua kejadian yang berkesinambungan dan kesatuan yang tidak terpisahkan. Isra’ berarti perjalanan dimalam hari sedang mi’raj adalah tangga alat naik. Peristiwa Isra’ Mi’raj bermula ketika Malaikat Jibril AS mendapat perintah dari Allah untuk menjemput Nabi Muhammad SAW untuk menghadap Allah SWT. Jibril membangunkan Rasul dan membimbing-nya keluar Masjidil Haram ternyata diluar masjid telah menunggu kendaraan bernama Buraq sebuah kendaraan yang kecepatannya lebih cepat dari kecepatan rambat cahaya dan setiap langkahnya sejauh mata memandang.
Perjalanan dimulai Rasulullah mengendarai buraq bersama Jibril. Jibril berkata, “turunlah dan kerjakan shalat”.
Rasulullahpun turun. Jibril berkata, “dimanakah engkau sekarang ?”
“tidak tahu”, kata Rasul.
“Engkau berada di Madinah, disanalah engkau akan berhijrah “, kata Jibril.
Perjalanan dilanjutkan ke Syajar Musa (Masyan) tempat penghentian Nabi Musa ketika lari dari Mesir, kemudian kembali ke Tunisia tempat Nabi Musa menerima wahyu, lalu ke Baitullhmi (Betlehem) tempat kelahiran Nabi Isa AS, dan diteruskan ke Masjidil Aqsha di Yerussalem sebagai kiblat nabi-nabi terdahulu.
Jibril menurunkan Rasulullah dan menambatkan kendaraannya. Setelah rasul memasuki masjid ternyata telah menunggu Para nabi dan rasul. Rasul bertanya : “Siapakah mereka ?”
“Saudaramu para Nabi dan Rasul”.
Kemudian Jibril membimbing Rasul kesebuah batu besar, tiba-tiba Rasul melihat tangga yang sangat indah, pangkalnya di Maqdis dan ujungnya menyentuh langit. Kemudian Rasulullah bersama Jibril naik tangga itu menuju kelangit tujuh dan ke Sidratul Muntaha.
Dan sesungguhnya nabi Muhammad telah melihatJibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratull Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dariyang dilihatnya itu dan tidakpula melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm : 13 – 18).
Selanjutnya Rasulullah melanjutkan perjalanan menghadap Allah tanpa ditemani Jibril Rasulullah membaca yang artinya : “Segala penghormatan adalah milikAllah, segala Rahmat dan kebaikan“.
Allah berfirman yang artinya: “Keselamatan bagimu wahai seorang nabi, Rahmat dan berkahnya“.
Rasul membaca lagi yang artinya: “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh. Rasulullah dan ummatnya menerima perintah ibadah shalat“.
Berfirman Allah SWT : “Hai Muhammad Aku mengambilmu sebagai kekasih sebagaimana Aku telah mengambil Ibrahim sebagai kesayanagan dan Akupun memberi firman kepadamu seperti firman kepada Musa Akupun menjadikan ummatmu sebagai umat yang terbaik yang pernah dikeluarkan pada manusia, dan Akupun menjadikan mereka sebagai umat wasath (adil dan pilihan), Maka ambillah apa yang aku berikan kepadamu dan jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur“.
“Kembalilah kepada umatmu dan sampaikanlah kepada mereka dari Ku”.
Kemudian Rasul turun ke Sidratul Muntaha.
Jibril berkata : “Allah telah memberikan kehormatan kepadamu dengan penghormatan yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun dari makhluk Nya baik malaikat yang terdekat maupun nabi yang diutus. Dan Dia telah membuatmu sampai suatu kedudukan yang tak seorangpun dari penghuni langit maupun penghuni bumi dapat mencapainya. Berbahagialah engkau dengan penghormatan yang diberikan Allah kepadamu berupa kedudukan tinggi dan kemuliaan yang tiada bandingnya. Ambillah kedudukan tersebut dengan bersyukur kepadanya karena Allah Tuhan pemberi nikmat yang menyukai orang-orang yang bersyukur”.
Lalu Rasul memuji Allah atas semua itu.
Kemudian Jibril berkata : “Berangkatlah ke surga agar aku perlihatkan kepadamu apa yang menjadi milikmu disana sehingga engkau lebih zuhud disamping zuhudmu yang telah ada, dan sampai lah disurga dengan Allah SWT. Tidak ada sebuah tempat pun aku biarkan terlewatkan”. Rasul melihat gedung-gedung dari intan mutiara dan sejenisnya, Rasul juga melihat pohon-pohon dari emas. Rasul melihat disurga apa yang mata belum pernah melihat, telingan belum pernah mendengar dan tidak terlintas dihati manusia semuanya masih kosong dan disediakan hanya pemiliknya dari kekasih Allah ini yang dapat melihatnya. Semua itu membuat Rasul kagum untuk seperti inilah
mestinya manusia beramal. Kemudian Rasul diperlihatkan neraka sehingga rasul dapat melihat belenggu-belenggu dan rantai-rantainya selanjutnya Rasulullah turun ke bumi dan kembali ke masjidil haram menjelang subuh.
Mandapat Mandat Shalat 5 waktu
Agaknya yang lebih wajar untuk dipertanyakan, bukannya bagaimana Isra’ Mi’raj, tetapi mengapa Isra’ Mi’raj terjadi ? Jawaban pertanyaan ini sebagaimana kita lihat pada ayat 78 surat al-lsra’, Mi’raj itu untuk menerima mandat melaksanakan shalat Lima waktu. Jadi, shalat inilah yang menjadi inti peristiwa Isra’Mi’raj tersebut.
Shalat merupakan media untuk mencapai kesalehan spiritual individual hubungannya dengan Allah. Shalat juga menjadi sarana untuk menjadi keseimbangan tatanan masyarakat yang egaliter, beradab, dan penuh kedamaian. Makanya tidak berlebihan apabila Alexis Carrel menyatakan : “Apabila pengabdian, sholat dan do’a yang tulus kepada Sang Maha pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut“. Perlu diketahui bahwa A. Carrel bukanlah orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama, tetapi dia adalah seorang dokter dan pakar Humaniora yang telah dua kali menerima nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja dan pencangkokannya. Tanpa pendapat Carrel pun, Al – Qur’an 15 abad yang lalu telah menyatakan bahwa shalat yang dilakukan dengan khusu’ akan bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar, sehingga tercipta tatanan masyarakat yang harmonis, egaliter, dan beretika.

Tuesday, 12 June 2012

Ujub dan Takabur

Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insya Allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang santri yang juga memiliki murid yang banyak. Santri itu juga menjadi kyai bagi jamaahnya sendiri. Karena telah memiliki murid, santri ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”
Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”
Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?”
“Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.
“Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.
“Bisa,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.”
“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”
“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut.
Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”
Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?”
Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”
“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”
Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”
Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur.
“Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.
Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.
Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.
Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?”
Nabi menjawab, :”Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu.”
Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.
Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.
Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya; Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam.
Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi kita bicarakan, ya Rasulallah.”
Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”
Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?”
Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.
Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?”
“Aku,” jawab Abu Bakar.
Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.”
Nabi tetap bertanya, “Siapa yang mau membunuh orang itu?”
Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu, “Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?”
Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?”
Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.”
Nabi kemudian bersabda, “Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”
Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah:
Selama di tengah- tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Penawarnya hanya satu, belajarlah menghinakan diri kita. Seperti yang dinasihatkan Bayazid Al-Busthami kepada santrinya.

Sunday, 10 June 2012

Kematian Tragis Para Pemimpin Adil

Kerinduan masyarakat terhadap pemimpin adil sama dengan kerinduan mereka terhadap tanah lapang yang hijau dan sejuk. Tempat mata meraih keindahannya. Tempat nafas menarik dalam kesejukannya. Tempat hati melepas kepenatannya. Atau bahkan lebih dari itu semua.
Apalagi hari ini. Ketika pencarian masyarakat terbentur tembok keputusasaan. Dicerminkan pada sikap apatis terhadap semua bentuk pemilihan pemimpin. Karena mereka telah kecewa. Harapan yang muncul seperti tunas yang baru tumbuh, dihantam oleh badai dusta. Tak tersisa.

Kemunculan pemimpin adil ini harus diusahakan terus. Dicari di tumpukan jerami, walau hanya sekecil jarum.
Siapapun yang akan muncul menjadi pemimpin adil, apalagi di tengah kumuhnya sistim dan kepemimpinan, tulisan ini memberikan rambu sejarah yang akan terulang di sepanjang sejarah.
Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) adalah contoh para pemimpin teradil di muka bumi ini, setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Merekalah para pemimpin yang disebut oleh Nabi sebagai pemimpin yang mendapatkan bimbingan Allah. Pemimpin yang menerapkan syariat Islam dengan utuh dan adil terhadap rakyatnya. Keadilannya, tidak pernah dijumpai dalam sejarah hidup pemimpin manapun di muka bumi ini.
Tetapi mereka semua meninggal dengan cara yang tragis!!
Inilah kematian mereka satu per satu dalam rekaman sejarah Islam. Setelah mereka mempersembahkan kepemimpinan yang membuat langit memuji mereka.

Abu Bakar Diracun oleh Yahudi?
Para ulama berbeda pendapat tentang penyebab kematian Abu Bakar. Ada yang berpendapat bahwa sebab kematian Abu Bakar adalah sakit yang disebabkan oleh karena beliau mandi pada cuaca yang sangat dingin.
Tetapi ada yang berpendapat bahwa Abu Bakar meninggal karena diracun oleh Yahudi setahun sebelum wafatnya. Sebagaimana yang bisa kita baca dalam kitab tarikh al-Khulafa’ (1/74, MS) karangan Imam as-Suyuthi dan tarikh ath-Thabari.
As-Suyuthi berkata, “Ibnu Sa’ad dan al-Hakim meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu Syihab bahwa Abu Bakar dan al-Harits bin Kildah makan makanan yang dihadiahkan kepada Abu Bakar. al-Harits berkata: Angkat tanganmu wahai khalifah Rasulillah. Demi Allah di makanan ini ada racun yang membunuh dalam setahun. Saya dan Anda akan mati pada satu hari yang sama.
Abu Bakar berhenti memakannya. Keduanya terus sakit hingga meninggal pada satu hari yang sama dengan berakhirnya hitungan satu tahun.”
Untuk menguatkan riwayat ini, as-Suyuthi menukil pernyataan ulama ternama asy-Sya’bi. As-Suyuthi berkata: Al-Hakim meriwayatkan dari Sya’bi, dia berkata, “Apa yang kita harapkan dari dunia yang hina ini. Telah diracun Rasulullah, demikian pula Abu Bakar.”
Setelah itu, as-Suyuthi menyebutkan pendapat kedua. Di mana al-Waqidi dan al-Hakim meriwayatkan  dari Aisyah yang berkata, “Permulaan sakitnya Abu Bakar yaitu dia mandi pada Hari Senin 7 Jumadil Akhir. Saat itu cuaca sangat dingin. Hal itu menyebabkannya demam selama 15 hari. Sehingga tidak bisa keluar untuk shalat. Dan wafat pada malam Selasa 8 malam yang terakhir di Bulan Jumadil Akhir tahun 13 dalam usia 63 tahun.”
Para ulama sejarah memperbincangkan kedua penyebab ini. Masing-masing mencoba mengambil yang dianggapnya lebih kuat. Atau seperti as-Suyuthi yang menyebutkan kedua pendapat sekaligus.
Jika kita mengambil pendapat pertama yaitu sebab diracun, maka ini semakin menambah panjang daftar kematian pemimpin adil dengan cara mengenaskan. Kalau kita mengambil pendapat yang kedua yaitu sebab sakit, maka seakan sejarah Abu Bakar ingin mengatakan bahwa hanya dia dari 4 khulafaur rasyidin yang meninggal karena sakit. Tetapi 3 pemimpin adil lainnya harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis.

Umar Ditusuk oleh Majusi
Pagi itu bukan hanya Umar yang ditusuk oleh Abu Lu’luah. Tetapi ada 13 orang lainnya. Dari mereka, 7 meninggal. Penusukan yang telah ditargetkan oleh Abu Lu’luah yang beragama majusi berdasarkan dendam terhadap Umar dan juga muslimin.
DR. Ali Muhammad ash-Shalabi mengatakan bahwa bukti kuat kalau Abu Lu’luah bukan hanya memiliki dendam pribadi kepada Umar tetapi juga kepada muslimin adalah dia menusuk 13 muslimin yang sedang berjamaah Shalat Shubuh. “Kalaulah benar Umar telah berbuat dzalim kepadanya, tetapi apa dosa para shahabat yang dia tusuk. Dan aku berlindung kepada Allah menyebut Umar sebagai orang dzalim,” begitu Ali ash-Shalabi menjelaskan (Umar bin Khattab h. 644)
Abu Lu’luah adalah budaknya Mughirah bin Syu’bah. Di mana dia digaji setiap harinya 4 Dirham dengan kemampuannya sebagai seorang pembuat alat penggiling.
Sejarah menyebutkan bahwa dendam pribadi Abu Lu’luah ketika dia kecewa dengan keputusan Umar yang dirasa tidak adil saat dia mengadukan tuannya Mughirah. “Semua merasakan keadilannya (Umar), kecuali saya,” kata Abu Lu’luah.
Suatu saat Umar berkata, “Saya diancam oleh seorang budak.” Kalimat diucapkan setelah Abu Lu’luah berbicara kepada Umar, “Saya akan buatkan ‘alat penggilingan’untukmu yang akan menjadi pembicaraan manusia.”
Maka, dia membuat senjata khusus untuk membunuh Umar. Sebuah pisau berkepala dua dengan pegangan di tengahnya yang telah dibubuhi racun. Umar mendapatkan 6 tusukan, salah satunya di bawah pusarnya.
Menjelang kematiannya, Umar diberitahu bahwa yang menusuknya adalah seorang majusi yang bernama Abu Lu’luah. Umar pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan seorang yang mengaku muslim.”

Utsman Dibantai oleh Para Pemberontak
6 tahun pertama pemerintahan Utsman adalah pemerintahan yang begitu menyenangkan dan menentramkan seluruh manusia. Utsman yang lembut bertemu dengan kelanjutan kebijakan adil zaman Umar merupakan penyebab kenyamanan itu.
6 tahun kedua pemerintahannya, adalah merupakan tahun-tahun sulit penuh fitnah. Bahkan fitnah itu melebar hingga ke zaman kita dan sungguh tidak mudah diurai oleh masyarakat awam.
DR. Ali Muhammad ash-Shalabi (Utsman ibn Affan h. 146, MS) menukil dari ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam w al-Muluk dan Ibnu al-Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh keberadaan penggerak di balik layar fitnah yang ditujukan kepada Utsman. Orang itu adalah Abdullah bin Saba’, seorang yahudi dari Yaman yang berkeliling kota-kota Islam dari Hijaz, Bashrah, Kufah dan Syam untuk menyebarkan fitnah seputar Utsman. Tetapi dia gagal total. Hingga saat dia pergi ke Mesir, di sanalah fitnah itu mendapatkan pendukungnya. Dan menyebarlah fitnah itu...
Kelembutan Utsman, membuat fitnah begitu mudah merajalela tanpa penghalang berarti. Berbagai tuduhan menggelinding liar di kota-kota utama muslimin saat itu. Hingga para pemberontak itu pun menuju kota Madinah untuk menurunkan Utsman dari jabatannya. Ratusan orang berangkat ke Madinah dan mengepung rumah Utsman. Sekitar 40 hari Utman dikepung, dimulai dari bulan Syawwal  35 H. Hingga air pun mereka halangi untuk masuk ke rumah Utsman. Berbagai upaya para shahabat dan anak-anak mereka untuk melindungi Utsman tidak berdaya di hadapan tidak kurang dari 600 orang itu.
Hingga pada Waktu Ashar di Hari Jum’at 8 Dzulhijjah 35 H, para pemberontak itu berhasi l masuk ke dalam rumah Utsman melalui pintu lain. Kening Utsman ditusuk, bagian bawah telinganya ditusuk hingga masuk ke kerongkongan, kemudian pedang diayunkan untuk menebas utsman, robohlah Utsman dan melompatlah Amr bin Hamaq menindih dada Utsman dengan menghunjamkan 9 tusukan.
Utsman pun syahid, persis seperti yang pernah disampaikan oleh Rasul saat beliau masih hidup. Mushaf yang sedang dibacanya, menjadi saksi bisu akan kebiadaban para pembunuh itu. Darah mengalir di atas Surat al-Baqarah yang sedang dibukanya.
Tak cukup hanya membunuh Utsman, mereka pun merampok harta yang ada di rumah Utsman. Perilaku sangat biadab.
Para shahabat terkejut. Ali bin Abi Thalib marah. Hingga dia mendatangi kedua putranya Hasan dan menamparnya, juga Husain dan memukul dadanya, “Bagaimana Amirul Mukminin bisa terbunuh, padahal kalian menjaga pintunya?”
Ali mendatangi rumah Utsman. Para pemberontak itu ingin membaiat Ali. Tapi Ali dengan marah berkata, “Demi Allah, saya malu membaiat orang-orang yang telah membunuh Utsman. Dan saya malu kepada Allah, dibaiat sementara Utsman belum dikubur.”
Mereka yang menghalalkan darah Utsman dinyatakan oleh para ulama sebagai kafir. Sementara yang tidak menghalalkan tetapi ikut berperan serta dalam kematian Utsman dinyatakan sebagai fasik (Utsman ibn Affan, ash-Shalabi, h. 186, MS). Sumber fitnah adalah Yahudi yang menyelusup ke dunia Islam untuk mengacaukan ketentraman dan kemakmuran muslimin serta kemajuan Islam.

Ali Dibunuh Orang Khawarij
Kelompok khawarij adalah sekte sesat di tubuh  muslimin yang merasa benar dan dekat dengan Allah serta mengkafirkan muslimin lainnya yang tidak sepaham dengan mereka, hingga para shahabat seperti Ali sekalipun. Kelompok ini telah diingatkan oleh Nabi saat beliau masih hidup. Pemahaman yang dangkal yang berbalut semangat adalah penyebabnya. Secara dzahir, mereka sangat meyakinkan sebagai seorang muslim dengan ibadah-ibadah yang mereka lakukan. Tetapi mereka adalah kelompok sesat.
Zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib, kelompok ini diperlakukan dengan sangat bijak oleh Ali. Dialog ilmiah dibangun dengan sangat baik oleh Ali, hingga keputusan yang sangat ilmiah dan tidak terbawa emosi. Tetapi saat mereka menumpahkan darah, meneror masyarakat muslim dan merampok, terpaksa Ali sebagai pemimpin negara harus melakukan perlawanan. Perang Nahrawan pun meletus antara Ali dan kaum khawarij.
Sesungguhnya saat Ali mengetahui kaum khawarij telah melakukan teror, dia tidak langsung memerangi tetapi meminta agar mereka menyerahkan para pembunuh untuk dihukum. Tetapi mereka justru berkata: kami semua pembunuhnya. Maka Ali pun membawa pasukan yang semula hendak dibawa ke Syam, untuk memerangi kaum Khawarij di Nahrawan pada Bulan Muharram 38 H.
Perang Nahrawan, benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam di hati orang-orang khawarij. Dari seribu pasukan yang mereka miliki, tidak ada yang tersisa kecuali hanya sekitar 10 orang yang lari dari medan perang. Sementara dari pihak Ali korbannya sekitar 12 orang. (Lihat: Ali ibn Abi Thalib, ash-Shalabi,  2/351-356, MS)
Dendam kaum khawarij tidak mati. Pertemuan rahasia antara 3 orang khawarij (Abdurahman bin Muljam, Burak bin Abdillah, Amr bin Bakr at-Taimi) membicarakan keadaan negara dan balas dendam mereka atas kematian teman-teman mereka di perang Nahrawan. Mereka sepakat untuk membunuh orang-orang yang mereka anggap sebagai pemimpin kafir; Abdurahman bin Muljam akan membunuh Ali bin Abi Thalib, Burak akan membunuh Muawiyah dan Amr bin Bakr akan membunuh Amr bin Ash.
Pada Hari Jum’at Shubuh di Bulan Ramadhan 40 H, Abdurahman bin Muljam beserta teman-temannya yang telah bersembunyi semalaman mencoba membunuh Ali.
Pedang Abdurahman bin Muljam meninggalkan luka sangat serius di kepala Ali. Kepala kedokteran Atsir bin Amr as-Sukuni menyatakan bahwa lukanya sudah tidak mungkin diobati dan akan menyebabkan kematian. Ali hanya bertahan 3 hari setelah terluka itu dan kemudian meninggal pada tanggal 21 Ramadhan 40 H. (Lihat: Ali ibn Abi Thalib, ash-Shalabi,  3/188-194, MS)

Umar bin Abdul Aziz Diracun oleh Lawan Politiknya
Umar bin Abdul Aziz yang mengagumkan. Kepemimpinan dan karya peradabannya belum pernah ada yang bisa menyainginya. Hanya dalam 29 bulan, negeri menjadi makmur, sejahtera dan keadilan ditegakkan. Setelah kemiskinan merajalela, pesta pora penguasa dan kedzaliman selalu menimpa rakyat jelata.
Semua rakyat senang. Negeri muslim yang sangat besar ketika itu sangat berbahagia di bawah pemimpin adil Umar bin Abdul Aziz.
Tetapi ada yang tidak senang. Ada yang marah. Mereka adalah para mantan pejabat sebelum Umar bin Abdul Aziz menjabat. Mereka dulu menikmati dunia dan harta kemewahan dengan luar biasa di atas air mata dan darah rakyat.
Di zaman Umar bin Abdul Aziz, para pejabat Bani Umayyah itu benar-benar mati kutu. Tidak bisa berkutik. Mereka harus mengembalikan semua harta, tanah dan kedzaliman yang selama ini mereka lakukan terhadap rakyat.
As-Suyuthi (Tarikh khulafa’ 1/215, MS) dan Ali ash-Shalabi (Umar ibn Abdil Aziz, 4/198, MS) menyebutkan bahwa penyebab kematian Umar bin Abdul Aziz adalah diracun oleh para mantan pejabat Bani Umayyah.
Imam Mujahid berkata: Umar bin Abdul Aziz bertanya kepada saya: Apa pendapat masyarakat tentang keadaan saya sekarang?
Mujahid: Mereka berkata bahwa Anda terkena sihir.
Umar: Saya tidak terkena sihir. Tetapi saya sungguh tahu kapan saya diracun.
Umar kemudian memanggil seorang pembantunya (seorang budak) dan berkata kepadanya: Celakalah dirimu, mengapa kamu memberiku racun?
Pembantu itu berkata: Seribu dinar dan dibebaskan dari perbudakan.
Umar: Berikan ke saya uangnya.
Pembantu itu memberikan uang dan Umar bin Abdul Aziz menyerahkannya ke baitul mal. Dan Umar berkata kepada pembantunya: Pergilah ke tempat yang tidak dilihat seseorang.

Bahkan Rasul pun Diracun oleh Yahudi...
Nabi sendiri yang menyampaikan kepada Ummul Mukminin Aisyah tentang penyebab sakitnya, “Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakitnya makanan yang aku makan di Khaibar. Dan sekarang aku rasakan putusnya urat nadiku karena racun tersebut.” (ar-Rahiq al-Makhtum, h. 465, MS)
Racun yang dimaksud Nabi adalah racun pada daging kambing yang dibubuhkan oleh Zainab binti al-Harits, istri salah seorang tokoh Yahudi Sallam bin Misykam. “Kalau kamu Nabi, maka kamu pasti tidak akan terkena racun itu, tetapi kalau kamu raja maka saya telah membuat istirahat masyarakat (dengan kematianmu),” begitu jawaban wanita yahudi itu ketika ditanya Nabi mengapa ia meracuni Nabi. (Sulwah al-Katsib, Ibn Nashiruddin ad-Dimasyqi, h. 11, MS)
Peristiwa tersebut terjadi di Khaibar setelah muslimin berhasil menaklukkan kota terakhir Yahudi di Jazirah Arab tersebut tahun 7 H.

Dicari Pemimpin Adil yang Berani Mati..!!

Abu Bakar dalam sebuah riwayat meninggal karena diracun oleh yahudi
Umar bin Khattab meninggal karena ditusuk oleh Majusi
Utsman bin Affan meninggal dibantai oleh orang kafir dan muslim fasik
Ali bin Abi Thalib meninggal dengan pedang tokoh kelompok sesat khawarij
Umar bin Abdul Aziz meninggal diracun oleh para pejabat lama yang marah
Dan
Rasulullah meninggal karena sakit yang disebabkan oleh racun yahudi
Pesan sejarah sangat kuat bagi para pemimpin yang adil. Memang kematian tidak boleh diharapkan, ia akan datang pada saatnya tiba. Kematian adalah rahasia Allah. Tetapi para pemimpin adil dalam sejarah Islam, mati dengan semua cara tragis di atas. Bahkan pimpinan mereka semua, Rasulullah sang pemimpin agung pun mati dengan cara yang juga mirip.
Pantas! Jika pemimpin adil dijanjikan Allah perlindungan di akhirat dan Surga. Karena pemimpin adil artinya berhadapan dengan semua bentuk kedzaliman dan kejahatan yang bisa jadi telah dilakukan secara kolektif bahkan sistemik. Tentu nyawa bisa dipertaruhkan untuk mendobrak kedzaliman yang sedemikian besarnya.
Bagi para pemimpin yang mau menegakkan keadilan, tidak usah memilih cara matinya. Tetapi persiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi kematian mulia itu. Walau terlihat tragis.
Sedang dicari, pemimpin yang berani mati dalam menegakkan keadilan!!!

Thursday, 7 June 2012

Gurauan dan Canda Rasulullah

Rasulullah s.a.w. bergaul dengan semua orang. Baginda s.a.w menerima hamba, orang buta, dan anak-anak. Rasulullah s.a.w. bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi Rasulullah s.a.w. tidak berkata kecuali yang benar saja.
Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata, “Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta”, katanya.
“Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta”, kata Rasulullah s.a.w.. “Ia tidak mampu”, kata perempuan itu. “Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta”.”Ia tidak mampu”.Para sahabat yang berada di situ berkata, “Bukankah unta itu juga anak unta?”

Followers

Networked Blogs

Allah