Allah SWT mengutus Syu'aib pada penduduk Madyan:
"Dan
kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara mereka, Syu 'aib. Ia
berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu
selain Dia.'" (QS. Hud: 84)
Ini
adalah dakwah yang sama yang diserukan oleh setiap nabi. Dalam hal ini
tidak ada perbedaan antara satu nabi dan nabi yang lain. Ia merupakan
dasar akidah dan tanpa dasar ini mustahil suatu bangunan akan berdiri.
Setelah peletakan bangunan tersebut, Syu'aib mulai menyuarakan
dakwahnya:
"Dan
janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat
kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir
terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat)." (QS. Hud: 84)
Setelah
menjelaskan masalah tauhid secara langsung, Nabi Syu'aib berpindah pada
masalah muamalah sehari-hari yang berkenaan dengan kejujuran dan
keadilan. Adalah hal yang terkenal pada penduduk Madyan bahwa mereka
mengurangi timbangan dan mereka tidak memberikan hak-hak manusia. Ini
adalah suatu kehinaan yang menyentuh kesucian hati dan tangan
sebagaimana menyentuh kesempurnaan harga diri dan kemuliaan.
Para
penduduk Madyan beranggapan bahwa mengurangi timbangan adalah salah
satu bentuk kelihaian dan kepandaian dalam jual-beli serta bentuk
kelicikan dalam mengambil dan membeli. Kemudian nabi mereka datang dan
mengingatkan bahwa hal tersebut merupakan hal yang hina dan termasuk
pencurian. Nabi Syu'aib memberitahukan kepada mereka bahwa beliau
khawatir jika mereka meneruskan perbuatan keji itu niscaya akan turun
kepada mereka azab di mana manusia tidak akan dapat menghindar dari
siksaan itu. Perhatikanlah bagaimana campur tangan Islam melalui Nabi
Syu'aib yang diutus kepada manusia di mana ia memperhatikan persoalan
jual-beli dan mengawasinya:
"Hai
kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah
kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu
membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan." (QS. Hud: 85)
Nabi
Syu'aib meneruskan misi dakwahnya. Beliau mengulang-ulangi nasihatnya
kepada mereka dengan cara yang baik dan mengajak ke jalan yang baik,
tidak ke jalan yang buruk; beliau menghimbau kepada mereka untuk
menegakkan timbangan dengan keadilan dan kebenaran dan mengingatkan
mereka agar jangan merampas hak-hak orang lain. Merampas hak-hak orang
lain itu tidak terbatas pada jual-beli saja, namun juga berhubungan
dengan perbuatan-perbuatan lainnya; beliau memerintahkan mereka untuk
menegakkan timbangan keadilan dan kejujuran. Demikianlah seruan dari
agama tauhid dan akidah tauhid di mana ia selalu menyuarakan kejujuran
dan keadilan.
Agama
selalu memerintahkan manusia untuk menjalin kerjasama sesama mereka
dalam kehidupan sehari-hari dengan cara-cara yang bijaksana dan baik,
baik menyangkut hubungan kerja, hubungan pribadi maupun hubungan
lainnya. Al-Qur'an al-Karim mengatakan: "Dan janganlah kamu merugikan
manusia terhadap hak-hak mereka. "Dan kata as-Syai' (sesuatu) dalam ayat
tersebut diucapkan kepada hal-hal yang bersifat materi dan yang
bersifat non-materi (rohani) di mana masuk dalam katagori itu
perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan yang menghasilkan. Al-Qur'an
melarang segala bentuk kelaliman, baik kelaliman berkenaan dengan
menimbang buah-buahan atau sayur-sayuran maupun kelaliman dalam bentuk
tidak memberikan penghargaan terhadap usaha manusia dan pekerjaan
mereka. Sebab, kelaliman terhadap manusia akan menciptakan suasana
ketidakharmonisan yang berakibat pada timbulnya penderitaan, sikap putus
asa, dan sikap tidak peduli, sehingga pada akhirnya hubungan sesama
manusia berjalan tidak harmonis dan menimbulkan kegoncangan dalam
kehidupan. Oleh katrena itu, Al-Qur'an mengingatkan agar jangan sampai
ada manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi:
"Dan
janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.
Sisa (keuntungan) dart Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu
orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorangpenjaga atas dirimu."
(QS. Hud: 85-86)
Yang
dimaksud al-'Atsu ialah sengaja membuat kerusakan dan bertujuan untuk
membuat kerusakan. Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi;
janganlah kalian sengaja untuk menciptakan keonaran di muka bumi. Apa
yang ada di sisi Allah SWT adalah hal yang terbaik buat kalian jika
kalian benar-benar beriman. Kemudian Nabi Syu'aib memberitahu kepada
mereka bahwa ia tidak memiki sesuatu kepada mereka; ia tidak dapat
menguasai mereka tidak juga ia selalu mengawasi mereka. Beliau hanya
sekadar seorang rasul atau utusan untuk menyampaikan ajaran Tuhannya:
"Dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu. " (QS. Hud: 86)
Dengan
cara yang demikian, Nabi Syu'aib menjelaskan kaumnya bahwa masalah yang
mereka hadapi saat ini sangat penting dan sangat serius, bahkan sangat
berat. Beliau memberitahu mereka akibat yang bakal mereka terima jika
mereka membuat kerusakan. Selesailah bagian pertama dari dialog Nabi
Syu'aib bersama kaumnya. Nabi Syu'aib telah mengawali pembicaraan dan
kaumnya mendengarkan. Kemudian beliau berhenti dari pembicaraannya dan
sekarang kaum membuka pembicaraan:
"Mereka
berkata: 'Hai Syu'aib, apakah agamamu yang menyuruh agar kami
meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang hand
berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu
adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal " (QS. Hud: 87)
Para
penduduk Madyan yang kafir mereka biasa merampok dan menyembah
al-Aikah, yaitu pohon dari al-Aik yang dikelilingi oleh dahan-dahan yang
berputar di sekelilingnya. Mereka termasuk orang-orang yang menjalin
hubungan sesama manusia dengan cara-cara yang sangat keji. Mereka suka
mengurangi timbangan; mereka mengambil yang lebih darinya dan tidak
menghiraukan kekurangannya. Perhatikanlah semua itu dalam dialog mereka
bersama Syu'aib. Mereka berkata, "wahai Syu'aib apakah agamamu yang
memerintahkanmu...?" Seakan-akan agama ini mendorong Syu'aib dan
membisikinya serta memerintahnya sehingga ia menaati tanpa pertimbangan
dan pemikiran. Sungguh Syu'aib telah berubah dengan agamanya itu menjadi
alat yang bergerak dan alat yang tidak sadar. Demikianlah celaaan dan
tuduhan keji yang dialamatkan oleh kaum Nabi Syu'aib kepadanya. Agama
Syu'aib telah membuatnya gila dan membuatnya nekat untuk memerintahkan
mereka meninggalkan apa yang selama ini mereka sembah dan disembah oleh
kakek-kakek mereka. Kakek-kakek mereka telah menyembah tumbuh-tumbuhan
dan pohon-pohonan sementara agama Syu'aib memerintahkan mereka untuk
hanya menyembah Allah SWT. Kenekatan model apa dari Syu'aib ini?
Dengan
ejekan dan penghinaan ini, Nabi Syu'aib menghadapi dialog yang terjadi
dengan mereka. Kemudian mereka kembali bertanya-tanya dengan penuh
keheranan dan dengan nada mengejek: "Apakah agamamu yang menyuruh agar
kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami." Tidakkah
engkau sadar wahai Syu'aib bahwa agamamu ingin mencampuri keinginan kita
dan cara kita menggunakan harta kita? Apakah hubungan keimanan dan
salat dengan muamalah materi?
Dengan
pertanyaan ini, kaum Nabi Syu'aib mengira bahwa mereka mencapai suatu
tingkat kecerdasan. Mereka mengemukakan di hadapannya problem keimanan,
dan mereka mengingkari adanya keterkaitan antara perilaku manusia dan
muamalah mereka serta perekonomian mereka. Ini adalah masalah yang
klasik; ini adalah usaha untuk memisahkan antara ekonomi dan Islam di
mana setiap nabi justru di utus untuknya meskipun nama-nama mereka
berbeda-beda; ini adalah masalah kuno yang diungkap oleh kaum Nabi
Syu'aib di mana mereka mengingkari bahwa agama turut campur dalam
kehidupan sehari-hari mereka, perekonomian mereka dan cara mereka
menggunakan harta mereka. Mereka menganggap bahwa menginfakkan harta
atau menggunakannya atau menghambur-hamburkannya adalah suatu yang tidak
berhubungan dengan agama. Hal itu menyangkut kebebasan pribadi manusia.
Bukankah itu hartanya yang khusus lalu mengapa agama turut campur di
dalamnya?
Demikianlah
pemahaman kaum Nabi Syu'aib kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Syu'aib.
Kami kira pemahaman demikian sedikit atau banyak tidak berbeda dengan
pemahaman banyak masyarakat di zaman kita sekarang mereka menganggap
bahwasannya Islam tidak memiliki kaitan dengan kehidupan pribadi manusia
dan kehidupan perekonomian mereka. Oleh karena itu, manusia dapat
menggunakan harta mereka sesuai dengan kemauan mereka: "Sesungguhnya
kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal."
Mereka
ingin mengatakan kepada Nabi Syu'aib, seandainya engkau seorang yang
bijaksana dan memiliki pemikiran yang matang niscaya engkau tidak akan
mengatakan apa yang telah engkau katakan. Mereka kembali mengejek Nabi Syu'aib
dan merendahkan dakwahnya. Seandainya Anda bertanya kepada kaum Nabi
Syu'aib tentang pemahaman agama mereka maka mereka pasti mengingkari
bahwa agama adalah sebagai sistem dalam kehidupan yang menjadikan hidup
lebih mulia, lebih suci, lebih adil dan lebih pantas manusia untuk
menjabat sebagai khalifatullah di muka bumi; seandainya Anda bertanya
kepada mereka tentang agama niscaya mereka memberitahumu bahwa ia hanya
berupa kumpulan nilai-nilai rohani yang baik yang tidak mewarnai
kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman seperti ini, agama hanya sekadar
hiasan. Ini adalah pemahaman yang menggelikan karena Allah SWT mengutus
para nabi dan ajaran-ajaran yang mereka bawa bukan untuk perhiasan dan
main-mainan. Maha Suci Allah SWT dari semua itu. Allah SWT mengutus para
nabi-Nya dengan membawa sistem baru dalam kehidupan, yaitu sistem yang
mencakup nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran yang itu semua tidak akan
bermakna jika tidak berubah menjadi suatu sistem dalam kehidupan secara
umum dan mengatur kehidupan secara khusus. Dengan pemahaman seperti
inilah agama menjadi mulai dan agama menjadi benar adanya. Dan dengan
asumsi seperti ini, kita memahami seberapa jauh campur tangan agama
dalam persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari: dimulai dari
hubungan-hubungan cinta sampai undang-undang perkawinan, bahkan cara
mengambil keputusan hidup sampai sistem dalam menginfakkan uang dan
menggunakannya, juga sistem dalam cara menggunakan dan mendistribusikan
kekayaan dan sebagainya. Jika manusia memahami agama seperti ini
makajadilah agama sesuatu kebenaran. Dan kalau tidak, agama laksana
puing-puing saja.
Nabi
Syu'aib mengetahui bahwa kaumnya mengejeknya karena mereka menganggap
agama tidak turut campur dalam kehidupan sehari-hari. Namun, beliau
menghadapi semua itu dengan penuh kelembutan dan kasih sayang karena
beliau yakin apa yang beliau bawa adalah kebenaran. Beliau tidak peduli
dengan ejekan mereka dan tidak tersinggung dengannya dan tidak
mempersoalkan hal itu; beliau memberi pengertian kepada mereka bahwa
beliau berada di atas kebenaran dari Tuhannya; beliau adalah seorang
nabi yang mengetahui kebenaran; beliau tidak melarang mereka untuk
meninggalkan sesuatu yang di balik larangan itu mendatangkan keuntungan
pribadi buatnya; beliau tidak ingin menasihati mereka dalam kejujuran
agar pasar menjadi sepi dan karenanya beliau mengambil manfaat; beliau
hanya sekadar seorang nabi di mana dakwah setiap nabi tergambar dalam
ungkapan yang singkat:
"Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. " (QS. Hud: 88)
Yang
beliau inginkan hanya al-Islah (usaha membuat perbaikan). Demikanlah
kandungan dan inti dakwah para nabi yang sebenarnya. Mereka adalah
al-Muslihun, yaitu orang-orang yang membuat perbaikan; mereka
memperbaiki akal, memperbaiki hati dan memperbaiki kehidupan yang umum
dan kehidupan yang khusus:
"Syu'aib
berkata: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranku jika aku mempunyai bukti yang
nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari-Nya rezeki yang baik
(patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak
menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah bertawakal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.'" (QS. Hud: 88)
Setelah
Nabi Syu'aib menjelaskan tujuan-tujuannya kepada mereka dan
menyingkapkan kebenaran dakwahnya, beliau mulai mengotak-atik akal-akal
rnereka; beliau mengungkapkan kepada mereka bagaimana pergulatan
orang-orang sebelum mereka dengan para nabi sebelumnya, yaitu kaum Nabi
Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Saleh, dan kaum Nabi Luth yang masa mereka
ddak jauh dengan masa Nabi Syu'aib. Beliau mulai berdialog dengan
mereka dan mengingatkan mereka bahwa sikap penentangan mereka justru
akan mendatangkan siksaan bagi mereka. Nabi Syu'aib mengingatkan mereka
bagaimana nasib orang-orang yang mendustakan kebenaran:
"Hai
kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu)
menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang
menimpah kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Luth tidak
(pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan mohonlah ampun dari Tuhanmu
kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang
lagi Maha Pengasih. " (QS. Hud: 89-90)
Usai
Nabi Syu'aib berdakwah kepada Allah SWT dan menjelaskan al-ishlah
(usaha memperbaiki masyarakat) dan mengingatkan mereka bahaya
penentangan serta menakut-nakuti mereka dengan menceritakan kembali
siksaan yang diterima orang-orang yang berbohong sebelum mereka.
Meskipun demikian, Nabi Syu'aib tetap membukakan pintu pengampunan dan
pintu taubat bagi mereka. Beliau menunjukkan kepada mereka kasih sayang
Tuhannya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Namun kaum Nabi Syu'aib
memilih azab. Kekerasan hati mereka dan keinginan mereka untuk
mendapatkan harta yang haram serta rasa puas dengan sistem yang mengatur
mereka, semua itu menyebabkan mereka menolak kebenaran:
"Mereka berkata: 'Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.'" (QS. Hud: 91)
Kami tidak memahamimu. Engkau adalah seorang yang mengacau; engkau mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti:
"Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami." (QS. Hud: 91)
Beliau
dikatakan sebagai orang yang lemah karena orang-orang fakir dan
orang-orang yang rrienderita adalah orang-orang yang beriman padanya,
sedangkan orang-orang kaya dan para pembesar telah menentang mereka.
Demikianlah pertimbangan umumnya manusia yang tidak memiliki kekuatan
cukup untuk menghadapi kebenaran dakwah Nabi Syu'aib di mana beliau
dianggap sebagai orang yang lemah:
"Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami akan merajammu."(QS. Hud: 91)
Seandainya
kalau bukan karena keluargamu dan kaummu dan orang-orang yang
mengikutimu niscaya kami akan menggali suatu lubang dan kami akan bunuh
kamu dilubang itu dengan cara melempari kamu dengan batu:
"Sedang kamu pun bukanlah seorangyang berwibawa di sisi kami." (QS. Hud: 92)
Kaum
Nabi Syu'aib berpindah dari cara mengejek pada cara menyerang. Nabi
Syu'aib telah menyampaikan bukti kepada mereka setelah mereka
mengejeknya, lalu mereka mengubah cara mereka berdialog. Mereka
memberitahunya bahwa mereka tidak memahami apa yang beliau katakan dan
mereka melihat bahwa Nabi Syu'aib sebagai orang yang lemah dan hina. Dan
seandainya kalau bukan karena mereka takut (kasihan) kepada keluarganya
niscaya mereka akan membunuhnya. Mereka menampakkan kebencian kepada
Nabi Syu'aib dan ingin sekali untuk membunuhnya kalau bukan karena
alasan-alasan yang berhubungan dengan keluarganya. Menghadapi ancaman
itu, Nabi Syu'aib tetap menunjukkan sikap lembutnya lalu beliau bertanya
kepada mereka dengan maksud untuk menggugah kesekian kalinya akal
mereka:
"Syu 'aib menjawab: 'Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah. " (QS. Hud: 92)
Apakah
cukup rasional jika mereka membayangkan hal tersebut? Mereka melupakan
hakikat kekuatan yang mengatur alam. Sesungguhnya hanya Allah SWT Yang
Maha Mulia dan Maha Kuat. Seharusnya mereka mengingat hal itu;
seharusnya seseorang tidak takut kepada apapun selain Allah SWT dan
tidak membandingkan kekuatan di alam wujud ini dengan kekuatan Allah
SWT. Hanya Allah SWT Yang Kuat dan hanya Dia yang mengatur
hamba-hamba-Nya.
Tampak bahwa kaum Nabi Syu'aib mulai kesal dan semakin kesal dengannya, lalu berkumpullah para pembesar kaumnya:
"Pemuka-pemuka
dari kaum Syu 'aib yang menyombongkan diri berkata: 'Sesungguhnya kami
akan mengusir kamu hai Syu'aib dan dengan orang-orang yang beriman
bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami.'" (QS.
al-A'raf: 88)
Mereka
menggunakan tahap baru dengan cara mengancam Nabi Syu'aib; mereka
mengancamnya untuk membunuh dan mengusir dari desa mereka; mereka
memberi pilihan kepada Nabi Syu'aib antara terusir dan kembali kepada
agama mereka yang menyembah pohon-pohon dan benda-benda mati. Nabi
Syu'aib memberitahu kepada mereka bahwa masalah kembalinya ia ke agama
mereka adalah masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah yang
disebutkan dalam perjanjian. Sungguh Allah SWT telah menyelamatkan
beliau dari agama mereka lalu bagaimana beliau kembali lagi padanya?
Beliau yang mengajak mereka pada agama tauhid lalu bagaimana beliau
mengajak mereka untuk kembali pada kesyirikan dan kekufuran? Beliau
mengajak mereka dengan cara yang lembut dan kasih sayang sementara
mereka mengancamnya dengan kekuatan.
Demikianlah
pertentangan antara Nabi Syu'aib dan kaumnya semakin berlanjut. Nabi
Syu'aib memegang amanat dakwah untuk menghadapi para pembesar, para
pendusta, dan para penguasa kaumnya. Akhirnya, Nabi Syu'aib mulai
mengetahui bahwa mereka tidak lagi memiliki harapan karena mereka telah
berpaling dari Allah SWT:
"Sedang
Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu? Sesungguhnya
pengetahuan Tuhanku meliputi apa yang kamu kerjakan. Dan (dia berkata):
'Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun
berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab
yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Tuhan).
Sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu." (QS. Hud: 92-93)
Nabi
Syu'aib berlepas diri dari mereka. Mereka telah berpaling dari agama
Allah SWT bahkan telah mendustakan nabi-Nya dan menuduhnya bahwa ia
tersihir dan seorang pembohong. Maka, setiap orang hendaklah melakukan
apa saja yang diinginkannya dan hendaklah mereka menunggu azab Allah
SWT. Kemudian pergulatan antara Nabi Syu'aib dan kaumnya berakhir adanya
fase baru. Mereka meminta kepada Nabi Syu'aib untuk mendatangkan azab
dari langit jika beliau termasuk orang-orang yang benar. Dengan nada
mencibir dan menantang, mereka berkata: "di mana azab itu, di mana
siksaan yang dijanjikan itu? Mengapa terlambat datang?"
Mereka
mengejek Nabi Syu'aib dan beliau dengan tenang menunggu datangnya azab
Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada beliau agar keluar bersama
orang-orang mukmin dari desa tersebut. Akhirnya, Nabi Syu'aib keluar
bersama para pengikutnya dan datanglah azab Allah SWT:
"Dan
takkala datang azab Kami. Kami selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang
beriman bersama-sama dengan dia dengan rahmat dari kami, dan orang-orang
lalim dibinasakan oleh satu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka
mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah mereka belum pernah berdiam
di tempat itu. Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk Madyan sebagaimana
kaum Tsamud telah binasa." (QS. Hud: 94-95)
Ia
adalah teriakan sekali saja satu suara yang datang kepada mereka dari
celah-celah awan yang menyelimuti. Mula-mula mereka barangkali
bergembira karena membayangkan itu akan membawa hujan tetapi mereka
dikagetkan ketika datang kepada mereka siksaan yang besar pada hari yang
besar.
Selesailah
masalah ini. Mereka menyadari bahwa teriakan itu membawa bencana buat
mereka; teriakan itu menghanguskan setiap makhluk yang ada di dalam
negeri itu. Mereka tidak mampu bergerak dan tidak mampu menyembunyikan
diri dan tidak pula mereka dapat menyelamatkan diri mereka.