Ada tiga kejadian menarik yang berkaitan dengan Hadis yang akan kita
bahas ini. Pertama pada bulan Ramadhan, tahun 1968, di sebuah pesantren
di pesisir utara Jawa Tengah, seorang santri selalu tidur pada siang
hari Ramadhan. Padahal para santri lainnya ramai-ramai mengikuti
pengajian kitab kuning yang khusus diadakan pada setiap bulan Ramadhan.
Istilah pesantrennya, Ngaji Pasaran.
“Kang, bangun Kang, ngaji,? begitu kata seorang temannya
membangunkan. “Biarkan saja, tidurnya orang yang berpuasa itu ‘kan
ibadah,? begitu kata kawan santri yang lain seolah membela santri yang
sedang tidur itu. Dan tampaknya, ungkapan kawan yang membela itu bukan
sekadar ungkapan biasa, karena di kalangan para santri itu populer
sebuah Hadis yang menyebutkan seperti itu.
Diskusi di London
Lain lagi dengan kejadian yang kedua ini yaitu yang terjadi pada
musim panas tahun 1978 di London Inggris. Seorang mahasiswa Indonesia
yang belajar di salah satu negara di Timur Tengah berlibur musim panas
di kota super modern yang penuh dengan kebun-kebun raya itu. Ia menjadi
tamu seorang Home Staff KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di
London.
Karena waktu itu bulan Ramadhan, maka pada pagi hari mahasiswa tadi
tidur di rumah. Sedangkan tuan rumah pergi ke KBRI. Agak siang,
mahasiswa tadi bangun dan selanjutnya bersama kawannya yang juga
mahasiswa di Timur Tengah keluar, berjalan-jalan melihat Kota London.
Menjelang sore, ketika tuan rumah belum pulang dari KBRI, mahasiswa tadi
sudah pulang ke rumah, kemudian sambil menunggu sore ia tidur lagi.
Ketika tuan rumah pulang petang hari dan dilihatnya mahasiswa tadi
tidur seharian, ia berkata, “Kalau puasa hanya tidur saja, anak kecil
juga bisa.? Mendengar sindiran itu mahasiswa tadi berkomentar, “Orang
berpuasa itu tidurnya saja dinilai ibadah. Begitu kata sebuah Hadis.?
“Ah, mana mungkin begitu,? kata tuan rumah, “Orang tidur kok
beribadah. Ini berarti tidurnya saja sudah mendapatkan pahala, padahal
orang beribadah itu mendapat pahala karena ia menghadapi tantangan dan
godaan. Lantas, orang yang tidur itu apa tantangan dan godaannya??
katanya memberikan alasan.
“Tetapi banyak yang mengatakan ungkapan itu sebuah Hadis,? jawab
mahasiswa tadi. “Lha ini, Sampeyan ini ‘kan mahasiswa dan belajar agama
Islam di Timun Tengah. Seharusnya sampeyan meneliti Hadis itu. Apa benar
itu sebuah Hadis?? kata tuan rumah tadi mengharapkan kepada tamunya.
Itulah dua kejadian yang sangat berjauhan baik dari segi waktu maupun
tempat. Namun demikian, kedua kejadian itu mempunyai topik yang sama,
yaitu Hadis tidurnya orang berpuasa itu merupakan ibadah.
Narasumber di Televisi
Kejadian ketiga baru saja pada bulan Ramadhan 1423 H yang lalu. Di
sebuah stasiun televisi, seorang yang berpangkat Kiai Haji dan namanya
tidak dikenal di kalangan masyarakat umum, menjadi narasumber untuk
acara yang disiarkan pada siang hari. Sementara sebagai pembawa acara
ditampilkan seorang artis sinetron yang namanya juga tidak begitu
kondang.
Kata pembawa acara, “Pak Kiai,? begitu ia menyapa narasumber.
“Sebenarnya apa keutamaan bulan Ramadhan itu?? Pak Kiai yang saat itu
mengenakan peci putih dan lehernya dililit surban menjawab dengan penuh
percaya diri bahwa keutamaan bulan Ramadhan itu ada lima macam. Kemudian
ia mengatakan, “Dalam sebuah Hadis, Nabi Muhammad Saw mengatakan bahwa
tidurnya orang yang berpuasa itu merupakan ibadah, diamnya saja sama
dengan membaca tasbih. Pahala amalnya dilipatgandakan, doanya
dikabulkan, dan dosanya diampuni.? Itulah keutamaan bulan Ramadhan,?
kata narasumber tadi tanpa sedikit pun ragu-ragu bahwa Hadis yang dia
sampaikan itu adalah Hadis yang bermasalah. Sementara sang artis yang
menjadi pembawa acara sekaligus pewawancara tadi manggut-manggut saja.
Tidak Populer
Hadis yang disebut-sebut di tiga tempat di atas itu layaknya
merupakan Hadis populer karena banyak orang mengetahuinya. Namun
ternyata Hadis tersebut tidak tercantum dalam kitab-kitab Hadis populer.
Hadis itu diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya Syu‘ab
al-Iman, kemudian dinukil oleh Imam al-Suyuti dalam kitabnya al-Jami
al-Shaghir?
Teks lengkap Hadis tersebut adalah sebagai berikut:
“Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih,
amalnya dilipatgandakan (pahalanya), doanya dikabulkan, dan dosanya
diampuni.?
Hadis Palsu
Menurut Imam al-Suyuti, kualitas Hadis ini adalah dha‘if (lemah).
Bagi orang yang kurang mengetahui ilmu Hadis, pernyataan Imam al-Suyuti
ini dapat menimbulkan salah paham, sebab Hadis dha’if itu secara umum
masih dapat dipertimbangkan untuk diamalkan. Sedangkan Hadis palsu
(maudhu), semi palsu (matruk), dan atau munkar tidak dapat dijadikan
dalil untuk beramal sama sekali, hatta sekedar untuk mendorong amal-amal
kebajikan (fadhail al-a‘mal).
Kesalahpahaman itu akan segera hilang manakala diketahui bahwa Hadis
palsu dan sejenisnya itu merupakan bagian dari Hadis dha’if. Karenanya,
suatu saat, Hadis palsu juga dapat disebut Hadis dha’if. Walau
bagaimanapun Imam aI-Suyuti akhirnya menuai kritik juga dari para ulama
atas pernyataannya itu, karena beliau dianggap tasahul (mempermudah)
dalam menetapkan kualitas Hadis. Salah satunya adalah dari Imam Muhammad
Abd al-Ra’uf al-Minawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir yang merupakan
kitab syarah (penjelasan) atas kitab al-Jami al-Shaghir.
Al-Minawi menyatakan bahwa pernyataan aI-Suyuti itu memberikan kesan
bahwa Imam al-Baihaqi menilai Hadis tersebut dha’if, padahal masalahnya
tidak demikian. Imam al-Baihaqi telah memberikan komentar atas Hadis di
atas, tetapi komentar Imam al-Baihaqi itu tidak dinukil oleh imam
al-Suyuti. Imam al-Baihaqi ketika menyebutkan Hadis tersebut, beliau
memberikan komentar atas beberapa rawi yang terdapat dalam sanadnya.
Menurut Imam al-Baihaqi, di dalam sanad Hadis itu terdapat nama-nama
seperti Ma’ruf bin Hisan, seorang rawi yang dha’if, dan Sulaiman bin
Amr al-Nakha’i, seorang rawi yang lebih dha’if daripada Ma’ruf. Bahkan
menurut kritikus Hadis al-Iraqi, Sulaiman adalah seorang pendusta.
Demikian Imam al-Baihaqi seperti dituturkan oleh al-Minawi.
Al-Minawi sendiri kemudian menyebutkan beberapa nama rawi yang
terdapat dalam sanad Hadis di atas, yaitu Abd al-Malik bin Umair,
seorang yang dinilai sangat dha’if. Namun rawi yang paling parah
kedha’ifannya adalah Sulaiman bin Amr al-Nakha’i tadi, yang dinilai oleh
para ulama kritikus Hadis sebagai seorang pendusta dan pemalsu Hadis.
Perhatikan penuturan para ulama berikut ini. Menurut Imam Ahmad bin
Hanbal, Sulaiman bin Amr al-Nakha’i adalah pemalsu Hadis. Yahya bin
Ma’in menyatakan, “Sulaiman bin Amr dikenal sebagal pemalsu Hadis.?
Bahkan dalam kesempatan lain, Yahya bin Ma’in mengatakan, “Sulaiman bin
Amr adalah manusia paling dusta di dunia ini.? Imam alBukhari
mengatakan, “Sulaiman bin Amr adalah matruk (Hadisnya semi palsu
lantaran ia pendusta). Sementara Yazid bin Harun mengatakan, “Siapa pun
tidak halal meriwayatkan Hadis dari Sulaiman bin Amr.?
Imam Ibnu Adiy menuturkan, “Para ulama sepakat bahwa Sulaiman bin
Amr adalah seorang pemalsu Hadis.? Ibnu Hibban mengatakan, “Sulaiman
bin Amr al-Nakha’i adalah orang Baghdad, yang secara lahiriyah, dia
adalah orang yang shalih, tetapi ia memalsu Hadis. Sementara Imam
al-Hakim tidak meragukan lagi bahwa Sulaiman bin Amr adalah pemalsu
Hadis.
Keterangan-keterangan ulama ini cukuplah sudah untuk menetapkan bahwa Hadis di atas itu palsu.
Beraktivitas Malam Hari
Tampaknya Hadis di atas itu telah berdampak buruk bagi perilaku
sebagian masyarakat Islam, khususnya di Indonesia. Banyak orang berpuasa
tetapi tidak mau bekerja pada siang hari. Mereka banyak tidur-tidur
saja. Alasannya, itu tadi, mereka menyebut-nyebut Hadis bahwa tidurnya
orang yang berpuasa itu adalah ibadah.
Memang benar, orang yang berpuasa itu meskipun tidur, ia tetap akan
mendapatkan pahala. Tetapi pahala itu diperolehnya lantaran puasanya
itu, bukan lantaran tidurnya. Memang, tidur pada siang hari itu akan
mendapatkan pahala, apabila hal itu dilakukan agar yang bersangkutan
dapat melakukan ibadah dan aktivitas pada malam hari. Tetapi hal ini
tidak ada kaitannya dengan ibadah puasa.
Dan setelah diketahui bahwa Hadis itu palsu, maka mudah-mudahan ia
tidak akan beredar dan disebut-sebut lagi di masyarakat, khususnya oleh
para da’i dan muballigh. Dan ini pada gilirannya mereka yang berpuasa
tetap beraktivitas seperti biasa, tidak berlomba-lomba tidur pada siang
hari.
Oleh Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, M.A.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)