Yang sering kita lupakan, mengapa selama bulan Ramadan pengeluaran
untuk kebutuhan konsumsi dapur justru meningkat. Ini fenomena global di
mana saja. Di dunia Arab pun demikian. Fenomena yang musti kita resahkan
bersama. Bukankah “urusan perut” itu remeh sekali, dan mestinya
pengeluaran menjadi mengecil selama Ramadan, karena kita makan hanya dua
kali dari kebiasaan sehari tiga kali?
Bukankah kita ini, selama ini, berpuasa setelah kenyang bersahur dan
siap menyantap hidangan bebuka pada sore hari? Miskinkah kita? Bukankah
tujuan puasa adalah untuk berlatih miskin? Tapi mengapa acara berbuka
terlalu diformalisasi, harus ada kolak, ada ini ada itu, yang biasanya
nggak ada diada-adakan? Seperti itukah puasa? Akhirnya makna puasa tetap
saja hilang, karena kita tetap ingin nampak kaya, dan bahkan berusaha
nampak lebih kaya lagi? Membeli ini dan itu?
Berbuka itu kan yaa hanya sekedar utk membatalkan puasa. Hanya itu.
Mengapa kita tidak sederhana saja, seperti biasanya. Bahkan seharusnya
meniadakan yang biasanya ada, dan kita sisihkan untuk saudara-saudara
kita yang membutuhkan.
Kawan-kawan yang saya cintai, indah sekali ketika Qur’an menuturkan
“orang yang berpuasa” memakai kalimat “saaih” (orang yang berkelana,
dari siyaahah = berkelana). Maksudnya orang yang berpuasa itu
perumpamaannya orang yang mengolah badannya dengan tujuan selanjutnya
mengolah ruhnya. Menahan lapar, dahaga, dll, guna memuluskan jalan
menuju alam rohani. Kita tidak akan mencapai alam rohani dengan sekedar
menahan lapar sehari, setelah kenyang menyantap sahur dan menyiapkan
menu buka seenak-enaknya. Beratkah puasa seperti ini? Ringan sekali
bukan? Sadarlah kita itu puasanya anak kecil. Apalagi di musim penghujan
dan musim dingin seperti sekarang, jarang rasa haus dan dahaga.
Sadarlah kita, tak jarang merindukan puasa karena sekedar menuruti
refleksi ikatan-ikatan perasaan dengan bentuk-bentuk lahiriyah suasana
Ramadan: selama Ramadan ramai “kuliah subuh”, semarak masjid dengan
tarawih dan tadarus, kekhasan santapan kolak hangat, dll. Semua anak
kecil pun pasti merasakan hal yang demikian, merindukan suasana Ramadan
itu. Anak kelas 4 SD sudah tak keberatan berpuasa, dia merindukan puasa
dan suasana Ramadan seperti itu.
Tapi sadarkah kita bahwa anak-anak kecil itu belum mampu menemukan
sesungguhnya makna dan tujuan puasa? Apakah kita tetap seperti mereka,
tetap kerdil, sekedar merindukan hal-hal yang demikian remehnya? Kita
jangan membohongi batin kita sendiri, marilah kita tanya setulusnya
kepada hati kita, “apakah kita hanya sekedar merindukan hal-hal di atas
itu dan melupakan apa makna puasa itu sendiri, atau betul-betul ingin
merasakan kepedihan saudara-saudara kita yang kelaparan dan kedinginan
di pengungsian, tinggal di kemah-kemah lusuh?”. Mengapa kita harus
berbuka bersama segala, apa tujuannya? Hanya sekedar menuruti keinginan
bertemu kawan, ramai-ramai berbuka bareng? Hanya itu? Ya, siapa saja
kalau ketemu kawan pasti senang, apalagi dalam acara yang dipersiapkan
secara istimewa. Tapi sekali lagi, hal-hal spt itu hanyalah sekedar
kesenangan-kesenangan lahir yang tak ada kaitannya sama sekali dengan
substansi puasa. Tidakkah kita pikirkan biaya tiket Surabaya-Jakarta,
Bandung-Jakarta, yang bisa didonasikan ke hal-hal yang lebih darurat,
bisa untuk membeli buku untuk memperbanyak koleksi perpustakaan
misalnya, belum lagi rugi waktu dll. Berkumpul bermusyawarah itu
penting, tapi demikian pentingkah berkumpul untuk berbuka?
Saatnya kita merenung bersama dengan hati yang jernih penuh
kontemplasi. Yang paling sederhana, coba kita mengkalkulasi pengeluaran
urusan pribadi, apakah semakin membengkak atau mengecil selama Ramadan.
Kalau membengkak, maka hakekatnya kita tidak berpuasa sama sekali. Kita
harus puas hanya sebatas menahan lapar dan dahaga. Dan itu kerugian yang
teramat besar.
Saatnya kita “mengencangkan ikat pinggang” sendiri, sambil
melonggarkan belanja kita di jalan Allah. Ada cerita menarik dan
mengesankan kaitannya dengan hal ini: Masa kecilnya Kiai Sahal (Rais Aam
PBNU). Di saat menjelang hari raya Idul Fitri, Sahal kecil mendapat
tugas rutin tahunan dari Romonya (KH. Mahfudh Salam). Tugas itu adalah
membagi-bagikan pakaian-pakaian baru untuk kawan-kawannya yang
fakir-miskin di kampungnya. Sementara dia sendiri tak pernah digantikan
bajunya pada hari lebaran.
Ah…seandainya kita bisa meniru.
----------------------------------------------------------------------
Ya Allah Ya Aziz Berilah hambamu kekuatan Iman untuk mendapatkan
Janjimu di bulan Ramadhan … Ya Rahim. Ya Allah Ya Ghofar Bukalah pintu
hati kami untuk dapat mendengarkan seruan Mu .. Ya Rahman Ya Allah Ya
Wujud Bukalah Pintu gerbang pengetahuanmu untuk kami yang bodoh ini …Ya
Baqa
“Mohon ma’af saya kepada semua atas segala apa yang telah saya
lakukan baik secara Qauliyah, Filliyah, Maliyah maupun Qalbiyah, semoga
kita bisa menjalani Puasa tahun ini dengan hati bersih”
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Sumber
Friday, 27 July 2012
0 Comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)