“Ilmu Perbintangan
yang dilarang di dalam Islam adalah ilmu perbintangan yang digunakan
untuk mengetahui kedaan alam, peristiwa- peristiwa yang akan terjadi
pada masa mendatang, seperti waktu datangnya angin dan turunnya hujan,
perubahan cuaca dan sejenisnya , semua itu, menurut pengakuan mereka,
bisa diketahui dengan melihat bintang-bintang pada peredarannya, atau
ketika bintang-bintang tersebut berkumpul dan berpisah, mereka
mengganggap bahwa perjalan bintang- bintang tersebut mempunyai pengaruh
dengan kejadian yang ada di bumi. Itu semua adalah kebohongan di dalam
masalah-masalah ghaib, dan sebuah bentuk campur tangan terhadap
masalah- masalah yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah “.
Secara sekilas pernyataan Imam Al Khaththabi tersebut, terkesan aneh dan menentang arus. Karena isinya melarang orang Islam untuk mempelajari Ilmu Astrologi dan mempercayai ramalan cuaca, yang nota benenya adalah hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang disarankan dalam Islam. Kesimpulan Imam Al Khaththabi tersebut didasarkan pada hadits Ibnu Abbas diatas. Namun, menurut hemat penulis, pernyataan Imam Al Khaththabi tersebut, masih bersifat umum dan global, sehingga perlu di pertajam dan di perjelas lagi. Sebelum masuk pada inti masalah, penulis akan menukil dahulu firman Allah di dalam surat Luqman :
وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام
“Dan Dialah (Allah) yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim.” (QS Luqman : 34 ).
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah-lah yang mengetahui apa yang ada di rahim. Dan pengetahuan tentang apa yang di dalam rahim, menurut tafsir (QS Al An’am : 59 dan QS Luqman: 34) adalah termasuk salah satu kunci-kunci ghaib yang tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Allah. Namun dengan kemajuan teknolgi zaman sekarang, hanya dengan menggunakan alat Ultrasonografi, seorang ibu hamil yang sudah berumur 7 bulan kehamilan atau bahkan sebelumnya, sudah mampu mengetahui keadaan janin yang ada di dalam rahimnya, apakah dia seorang laki- laki atau perempuan, dalam keadaan sehat atau kurang gizi, anggota tubuhnya normal atau cacat dan lain- lainnya. Lha bagaimana dengan bunyi surat Luqman ayat 34 di atas? Sebuah pertanyaan yang sering mengganjal dalam diri seorang muslim.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus tetap yakin bahwa Al Quran adalah Al Haq, yang mempunyai kebenaran mutlak dan tidak boleh diganggu gugat. Tetapi dalam sisi lain, kita harus yakin juga bahwa Al Quran tidak menentang atau bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, para ulama telah menjelaskan tafsir Surat Luqman ayat 34 di atas, bahwa manusia boleh saja mengetahui keadaan janin yang masih dalam kandungan dengan kecanggihan teknologi yang di milikinya, namun pengetahuan tersebut walaupun bagaimanapun canggihnya, tidak akan sempurna, buktinya banyak kejadian yang menyatakan bahwa perkiraan ultrasonografi sering salah dan tidak sesuai dengan kenyataan. Itu semua menunjukan bahwa hanya Allah-lah yang benar-benar mengetahui keadaan janin tersebut secara mendetail, tepat serta sempurna.
Jawaban para ulama terhadap teori embriologi tersebut, bisa kita analogikan untuk menjawab teori astrologi dan ramalan cuaca. Pengetahuan seorang astrolog terhadap kemungkinan akan datangnya hujan, atau bertiupnya angin kencang, atau timbulnya petir yang menggelegar, adalah pengetahuan yang sedikit dan bersifat parsial. Kemungkinan salah, sangat mungkin terjadi. Oleh karenanya, perkiraan seorang astrolog sekedar bahan agar kita mempersiapkan diri, namun hal itu tidak boleh kita jadikan standar. Kita tetap menyandarkan diri hanya kepada Allah swt, karena Dia-lah pelaku yang sebenarnya. Dengan demikian, yang dilarang dalam Islam adalah menyakini bahwa ramalan tersebut benar adanya dan menyandarkan semuanya pada astrolog. Sebagaimana kita di larang untuk menyakini bahwa dokter-lah yang menyembuhkan penyakit, karena sebenarnya yang menyembuhkan penyakit adalah Allah, dokter sekedar perantara, itupun banyak yang gagal. Allah berfirman menceritakan keyakinannya Nabi Ibrahim
وإذا مرضت فهو يشفين
“Dan apabila aku sakit, maka Allah-lah yang menyembuhkan aku.” (QS As Syu’ara’ :80)
Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam telah mampu menggabungkan antara aqidah dan ilmu pengetahuan. Aqidah adalah dasar kehidupan kita sehari-hari yang tidak boleh diganggu gugat, sedang ilmu pengetahuan adalah sekedar sarana, yang kebenarannya nisbi dan tidak mutlak. Maka hendaknya kita selalu menyandarkan kepada kebenaran yang mutlak ( Allah swt), tanpa harus membuang kebenaran nisbi (Ilmu pengetahuan). Wallahu a’lam.
Secara sekilas pernyataan Imam Al Khaththabi tersebut, terkesan aneh dan menentang arus. Karena isinya melarang orang Islam untuk mempelajari Ilmu Astrologi dan mempercayai ramalan cuaca, yang nota benenya adalah hasil kemajuan ilmu pengetahuan yang disarankan dalam Islam. Kesimpulan Imam Al Khaththabi tersebut didasarkan pada hadits Ibnu Abbas diatas. Namun, menurut hemat penulis, pernyataan Imam Al Khaththabi tersebut, masih bersifat umum dan global, sehingga perlu di pertajam dan di perjelas lagi. Sebelum masuk pada inti masalah, penulis akan menukil dahulu firman Allah di dalam surat Luqman :
وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام
“Dan Dialah (Allah) yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim.” (QS Luqman : 34 ).
Ayat diatas menunjukkan bahwa Allah-lah yang mengetahui apa yang ada di rahim. Dan pengetahuan tentang apa yang di dalam rahim, menurut tafsir (QS Al An’am : 59 dan QS Luqman: 34) adalah termasuk salah satu kunci-kunci ghaib yang tidak ada yang bisa mengetahuinya kecuali Allah. Namun dengan kemajuan teknolgi zaman sekarang, hanya dengan menggunakan alat Ultrasonografi, seorang ibu hamil yang sudah berumur 7 bulan kehamilan atau bahkan sebelumnya, sudah mampu mengetahui keadaan janin yang ada di dalam rahimnya, apakah dia seorang laki- laki atau perempuan, dalam keadaan sehat atau kurang gizi, anggota tubuhnya normal atau cacat dan lain- lainnya. Lha bagaimana dengan bunyi surat Luqman ayat 34 di atas? Sebuah pertanyaan yang sering mengganjal dalam diri seorang muslim.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus tetap yakin bahwa Al Quran adalah Al Haq, yang mempunyai kebenaran mutlak dan tidak boleh diganggu gugat. Tetapi dalam sisi lain, kita harus yakin juga bahwa Al Quran tidak menentang atau bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, para ulama telah menjelaskan tafsir Surat Luqman ayat 34 di atas, bahwa manusia boleh saja mengetahui keadaan janin yang masih dalam kandungan dengan kecanggihan teknologi yang di milikinya, namun pengetahuan tersebut walaupun bagaimanapun canggihnya, tidak akan sempurna, buktinya banyak kejadian yang menyatakan bahwa perkiraan ultrasonografi sering salah dan tidak sesuai dengan kenyataan. Itu semua menunjukan bahwa hanya Allah-lah yang benar-benar mengetahui keadaan janin tersebut secara mendetail, tepat serta sempurna.
Jawaban para ulama terhadap teori embriologi tersebut, bisa kita analogikan untuk menjawab teori astrologi dan ramalan cuaca. Pengetahuan seorang astrolog terhadap kemungkinan akan datangnya hujan, atau bertiupnya angin kencang, atau timbulnya petir yang menggelegar, adalah pengetahuan yang sedikit dan bersifat parsial. Kemungkinan salah, sangat mungkin terjadi. Oleh karenanya, perkiraan seorang astrolog sekedar bahan agar kita mempersiapkan diri, namun hal itu tidak boleh kita jadikan standar. Kita tetap menyandarkan diri hanya kepada Allah swt, karena Dia-lah pelaku yang sebenarnya. Dengan demikian, yang dilarang dalam Islam adalah menyakini bahwa ramalan tersebut benar adanya dan menyandarkan semuanya pada astrolog. Sebagaimana kita di larang untuk menyakini bahwa dokter-lah yang menyembuhkan penyakit, karena sebenarnya yang menyembuhkan penyakit adalah Allah, dokter sekedar perantara, itupun banyak yang gagal. Allah berfirman menceritakan keyakinannya Nabi Ibrahim
وإذا مرضت فهو يشفين
“Dan apabila aku sakit, maka Allah-lah yang menyembuhkan aku.” (QS As Syu’ara’ :80)
Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Islam telah mampu menggabungkan antara aqidah dan ilmu pengetahuan. Aqidah adalah dasar kehidupan kita sehari-hari yang tidak boleh diganggu gugat, sedang ilmu pengetahuan adalah sekedar sarana, yang kebenarannya nisbi dan tidak mutlak. Maka hendaknya kita selalu menyandarkan kepada kebenaran yang mutlak ( Allah swt), tanpa harus membuang kebenaran nisbi (Ilmu pengetahuan). Wallahu a’lam.