Kalau anak-anak kelak tak menjadikan Tuhannya sebagai tempat meminta
dan memohon pertolongan, barangkali kitalah penyebab utamanya. Kitalah
yang menjadikan hati anak-anak tak dekat dengan Tuhannya. Bukan karena
kita tak pernah mengenalkan -meskipun barangkali ada yang
demikian-tetapi karena keliru dalam memperkenalkan Tuhan kepada anak.
Kerap kali, anak-anak lebih sering mendengar asma Allah SWT. dalam suasana menakutkan dengan sifat-sifat Jalaliyah (Maha
Besar). Sifat Jamaliyah (Maha Indah) Allah hampir-hampir tak mereka
ketahui, kecuali namanya saja. Mereka mendengar asma Allah ketika
orangtua hendak menghukumnya. Sedangkan saat gembira, yang mereka
ketahui adalah boneka barbie. Akibatnya, mereka menyebut nama Allah
hanya di saat terjadi musibah yang mengguncang atau saat kematian
menghampiri orang-orang tersayang. Astaghfirullah al ‘azhiim.
Anak-anak kita sering mendengar nama Allah ketika mereka sedang
melakukan kekeliruan-meski terkadang kekeliruan itu sebenarnya ada pada
kita lalu kita mengeluarkan ancaman. Kita meneriakkan asma Allah, “Ayo.,
nggak boleh! Dosa! Allah nggak suka sama orang yang sering berbuat
dosa.”
Atau, saat mereka tak sanggup menghabiskan nasi yang memang terlalu
banyak untuk ukuran mereka. “Eh. nggak boleh begitu. Harus dihabiskan.
Kalau nggak dihabiskan, namanya muba.? Mubazir! Mubazir itu temannya
setan. Nanti Allah murka, lho.”
Nama Allah yang mereka dengar lebih banyak dalam suasana negatif;
suasana yang membuat manusia justru cenderung ingin lari. Padahal kita
diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendakwahkan
agama ini, termasuk kepada anak kita, dengan cara, “Mudahkanlah dan
jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan membuat mereka lari”.
Anak tidak merasa dekat dengan Tuhannya jika kesan yang ia rasakan
tidak menggembirakan. Sama seperti pengguna kendaraan bermotor yang
cenderung menghindari polisi, bahkan di saat membutuhkan pertolongan.
Mereka ‘menjauh’ karena telanjur memiliki kesan yang tidak menyenangkan.
Jika ada pemicu yang cukup, kesan negatif itu dapat menjadi benih-benih
penentangan kepada agama; Allah dan Rasul-Nya. Na’udzubillahi min
dzalik. (Kita berlindung kepada Allah dari hal demikian).
Rasanya, telah cukup pelajaran yang terbentang di hadapan mata.
Anak-anak yang dulu paling keras mengumandangkan adzan, sekarang sudah
ada yang menjadi penentang perintah Tuhan. Anak-anak yang dulu segera
berlari menuju tempat wudhu begitu mendengar suara batuk bapaknya di
saat maghrib, sekarang mereka berlari meninggalkan agama. Mereka
mengganti keyakinannya pada agama dengan kepercayaan yang kuat pada
pemikiran manusia, karena mereka tak sanggup merasakan kehadiran Tuhan
dalam kehidupan. Semenjak kecil, mereka memang tak biasa menangkap dan
merasakan kasih sayang Allah.
Agaknya, ada yang salah pada cara kita memperkenalkan Allah kepada
anak. Setiap memulai pekerjaan, apapun bentuknya, kita ajari mereka
mengucap basmalah. Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tetapi
kedua sifat yang harus selalu disebut saat mengawali pekerjaan itu,
hampir-hampir tak pernah kita kenalkan maknanya kepada mereka (atau
jangan-jangan kita sendiri tak mengenalnya?). Apa yang mereka rasakan
bertentangan dengan apa yang mereka ucapkan tentang Tuhannya.
Bercermin pada perintah Nabi dan urutan turunnya ayat-ayat suci yang
awal, ada beberapa hal yang patut kita catat dengan cermat. Seraya
memohon hidayah kepada Allah atas diri dan anak-anak kita, mari kita
periksa catatan berikut ini:
Awali Bayimu dengan Laa Ilaaha IllaLlah Rasulullah pernah
mengingatkan, “Awalilah bayi-bayimu dengan kalimat Laa ilaaha illallah.”
Kalimat suci inilah yang perlu kita kenalkan di awal kehidupan
bayi-bayi kita, sehingga membekas pada otak dan menghidupkan cahaya
hati. Apa yang didengar di saat-saat awal kehidupan akan berpengaruh
pada perkembangan berikutnya, khususnya terhadap pesan-pesan yang
disampaikan dengan cara yang mengesankan.
Suara ibu yang berbeda dari suara-suara lain, jelas pengucapannya, terasa seperti mengajarkan (teaching style) atau mengajak berbincang akrab (conversational quality),
memberi pengaruh yang lebih besar bagi perkembangan bayi. Selain
menguatkan pesan pada diri anak, cara ibu berbicara seperti itu juga
secara nyata meningkatkan IQ balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitu
pelajaran yang bisa saya petik dari hasil penelitian Bradley &
Caldwell berjudul 174 Children: A Study of the Relationship between Home Environment and Cognitive Development during the First 5 Years.
Apabila anak sudah mulai besar dan dapat menirukan apa yang kita
ucapkan, Rasulullah memberikan contoh bagaimana mengajarkan untaian
kalimat yang sangat berharga untuk keimanan anak di masa mendatang.
Kepada Ibnu ‘Abbas yang ketika itu masih kecil, Rasulullah berpesan:
“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini
sebagai nasihat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan
menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya
Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu,
mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan,
mintalah pertolongan pada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh ummat
manusia berkumpul untuk memberi manfaat padamu, mereka tidak akan mampu
melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam
takdirmu itu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai
dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikit pun
kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir
telah kering.” (Riwayat At-Tirmidzi)
Dalam riwayat lain disebutkan, “Jagalah hak-hak Allah, niscaya engkau
akan mendapatkan Dia ada di hadapanmu. Kenalilah Allah ketika engkau
berada dalam kelapangan, niscaya Allah pun akan mengingatmu ketika
engkau berada dalam kesempitan. Ketahuilah bahwa segala sesuatu yang
salah dalam dirimu tidak mesti engkau langsung mendapatkan hukuman-Nya.
Dan juga apa-apa yang menimpa dirimu dalam bentuk musibah atau hukuman
tidak berarti disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah bahwa pertolongan
itu akan datang ketika engkau berada dalam kesabaran, dan bersama
kesempitan akan ada kelapangan. Juga bersama kesulitan akan ada
kemudahan.”
Tak ada penolong kecuali Allah Yang Maha Kuasa; Allah yang senantiasa
membalas setiap kebaikan. Tak ada tempat meminta kecuali Allah. Tak ada
tempat bergantung kecuali Allah. Dan itu semua menunjukkan kepada anak
bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah. Wallahu a’lam bishawab.
Iqra’ Bismirabbikal ladzii Khalaq Sifat Allah yang pertama kali
dikenalkan oleh-Nya kepada kita adalah al-Khaliq dan al-Kariim,
sebagaimana firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang
Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-’Alaq: 1-5)
Setidaknya ada tiga hal yang perlu kita berikan kepada anak saat
mereka mulai bisa kita ajak berbicara. Pertama, memperkenalkan Allah
melalui sifat al-Khaliq (Maha Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak
kita bahwa kemana pun kita menghadap, di situ kita menemukan ciptaan
Allah. Kita tumbuhkan kesadaran dan kepekaan bahwa segala sesuatu yang
ada di sekelilingnya adalah ciptaan Allah. Semoga dengan demikian, akan
muncul kekaguman anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak
untuk tunduk kepada-Nya.
Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat
yang melekat pada anggota badannya. Kita ajak mereka menyadari bahwa
Allah Yang Menciptakan semua itu. Pelahan-lahan kita rangsang mereka
untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota
badannya. Katakan, misalnya, pada anak yang menjelang usia dua tahun,
“Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Berbinar-binar. Alhamdulillah,
Allah ciptakan mata yang bagus untuk Owi. Matanya buat apa, Nak?”
Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia.
Tugas mengajarkan ini, kelak ketika anak sudah memasuki bangku sekolah,
dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain
merangsang kecerdasan, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan
kesadaran-bukan hanya pengetahuan-bahwa ia ciptaan Allah dan karena itu
harus menggunakan hidupnya untuk Allah.
Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat al-Karim. Di
dalamnya berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. Kita
asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat
pemurah Allah dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan
pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai
mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai yang berbuat baik
kepada dirinya, dan memuliakan mereka yang mulia. Wallahu a’lam
bishawab.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)