Rasulullah belum tiba, tapi ingar-bingar di Madinah sudah begitu
terasa. Pagi-pagi, kaum Anshar sudah bersiap-siap di luar kota untuk
menyambut kedatangan Nabi. Mereka menunggu, tak peduli dengan terik
musim kemarau yang sangat panas.
Ternyata Rasulullah tiba saat kaum Anshar pulang ke rumah
masing-masing. Orang pertama yang melihat Rasululah adalah seorang
laki-laki Yahudi. Ia berteriak lantang mengabarkan. Kaum Anshar
serta-merta keluar rumah untuk menyambut kedatangan kekasih Allah.
Rasululah datang bersama Abu Bakar. Usia mereka sama. Perawakan tak
jauh beda. Sebagian besar kaum Anshar belum pernah melihat Rasulullah.
Mereka hanya sering mendengar kemuliaan Rasul dari Mush’ab bin ‘Umair.
Rasulullah sengaja mengutus Mush’ab sebelum beliau hijrah,
mengajarkan Alquran, Islam, dan memberikan pemahaman agama pada penduduk
Madinah. Maka dari itulah kaum Anshar bingung, yang mana kekasih Allah
yang harum namanya itu?
Abu Bakar paham kondisi itu. Ia menutupkan selendangnya untuk
memayungi Rasulullah SAW, sehingga kaum Anshar mengenali. Serta-merta
500 kaum Anshar mengerubung, ”Masuklah kaliah berdua (ke dalam kota)
dengan aman dan ditaati,” kata salah seorang di antara mereka.
Rasulullah dan Abu Bakar masuk ke kota dan semakin meriahlah suasana
Madinah.
Seluruh warga Madinah keluar rumah. Laki-laki dan perempuan naik ke
atap rumah mereka. Anak-anak dan pelayan bertebaran di jalan. Mereka
menyambut dan memanggil, ”Ya Muhammad! Ya Rasulullah!” takbir gembira
bersahut-sahutan. Bahkan, ada pula yang melantunkan syair indah Thala’al
Badru yang dikenal sampai sekarang.
Apa yang membuat kaum Anshar begitu gembira menyambut kedatangan
Nabi, padahal mereka belum pernah melihat Nabi, belum tahu rupa dan
wajah sejuknya? Nabi datang tanpa harta, keindahan dunia, dan seribu
janji kerja sama memakmurkan Madinah. Nabi datang dengan tangan hampa.
Kaum Anshar bersuka cita, lebih karena iman dan takwanya kepada
Allah. Indahnya Islam, lembut akhlak dan perangai Nabi adalah daya
magnetis tersendiri. Tak ada yang menyuruh kaum Anshar menyambut
kedatangan Rasulullah. Mereka spontan atas dorongan cinta. Mereka
merelakan harta, tahta, untuk kaum Muhajirin.
Begitulah sambutan terhadap tamu agung. Tak perlu seruan atau
persiapan istimewa untuk menyambutnya. Indahnya akhlak, santun tutur
perilaku, kebersihan hati, lebih dari cukup untuk membuat sang tamu
agung disambut dengan penuh suka cita.
Sunday, 10 February 2013
0 Comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)