Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Nur: 32).
Anjuran melaksanakan nikah dalam Al-Qur’an mengandung beberapa tujuan
baik tujuan yang bersifat pisik maupun yang bersifat moral. Tujuan yang
bersifat pisik adalah untuk menyalurkan hasrat biologis terhadap lawan
jenis dan juga mengembangkan keturunan sebagai pelanjut tugas
kekhalifahan manusia di muka bumi.
Adapun tujuan moral dari pernikahan adalah untuk melakukan pengabdian
kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya dan dengan pengabdian ini akan
diharapkan adanya intervensi dalam kehidupan berkeluarga yang akhirnya
akan melahirkan generasi-generasi yang taat dan shalih.
Sakralnya tujuan yang terkandung dalam pernikahan menunjukkan bahwa
pernikahan bukanlah sekadar uji coba yang bilamana tidak mampu
melanjutkannya dapat diberhentikan dengan seketika yang seolah-olah
perceraian adalah sesuatu yang lumrah. Banyaknya terdapat persefsi yang
seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang bahwa
perniakhan hanya merupakan persoalan biologis semata.
Berdasarkan tujuan inilah maka menghadapi pernikahan harus dilakukan
dengan kematangan baik kematangan dari segi material terlebih lagi dari
segi moral. Dengan kata lain mendapatkan kedewasaan sebelum menikah
lebih baik daripada mendapatkannya sesudah menikah.
Urgensi kematangan sebelum menikah ditandai dengan proses-proses yang
harus dilalui secara berurutan seperti meresek, menanya, meminang,
nikah gantung dan nikah sebenarnya. Hal ini dilakukan supaya calon
suami-isteri benar-benar matang dalam mengayuhkan rumah tangganya karena
proses-proses yang disebutkan tadi masih memberikan peluang untuk
mengundurkan diri dari pernikahan sebelum sampai kepada pernikahan yang
sebenarnya karena pengunduran diri (cerai) pasca pernikahan yang
sebenarnya dapat menimbulkan korban beberapa pihak seperti keluarga dan
anak-anak.
Anjuran pernikahan dalam Al-Qur’an adalah anjuran yang penuh dengan
persyaratan sehingga tujuan-tujuan dari pernikahan disebutkan secara
tegas dalam Al-Qur’an sekalipun sifatnya masih global. Tujuan-tujuan
pernikahan inilah yang seharusnya dijadikan bahan evaluasi baik oleh
orang tua calon maupun para calon itu sendiri untuk menentukan kadar
kemampuannya dalam menghadapi pernikahan. Nampaknya tujuan-tujuan inilah
yang mendasari para orang tua dahulu membuat semacam proses untuk
sampai kepada pernikahan yang sebenarnya agar tujuan-tujuan dimaksud
dapat direalisasikan dalam rumah tangga.
Adapun mengenai faktor biologis maka Nabi Muhammad memberikan solusi
alternatif yaitu dengan melaksanakan puasa bagi yang tidak punya
kemampuan untuk meredamnya. Sebaliknya Nabi Muhammad mengecam
orang-orang yang punya kemampuan dalam berbagai aspek untuk menikah tapi
tidak melaksanakannya dianggap sebagai orang yang anti terhadap
sunnahnya. Berdasarkan hal maka pihak ketiga harus pula berperan aktif
untuk mencarikan jodoh bagi orang-orang yang sangat sulit untuk
mendapatkannya.
Tujuan Pernikahan
Tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an
adalah untuk mendapatkan surga dan ampunan Tuhan, untuk menjalankan
hukum-hukum Tuhan dan mendapatkan karunia Tuhan (lihat Q.S. 2: 221, 230,
Q.S. 24: 320). Adapun tujuan-tujuan yang lain seperti mengembangkan
keturunan dan menyalurkan kebutuhan biologis adalah tujuan yang paling
asasi dan sekiranya Al-Qur’an tidak menyebutkannya maka dipastikan bahwa
tujuan yang seperti ini sudah lumrah berlaku.
Tujuan dari pernikahan adalah untuk mendapatkan surga dan keampunan
Tuhan sekalipun pernyataan ini tidak secara langsung ditegaskan dalam
Al-Qur’an. Larangan Al-Qur’an menikah dengan orang-orang musyrik
-walaupun mereka mengagumkan dalam berbagai aspek- didasarkan kepada
kekhawatiran bahwa mereka akan menarik pasangannya yang mukmin ke neraka
sedangkan Allah mengajak kepada surga dan keampunan.
Ayat ini dapat dipahami bahwa menikah dengan orang-orang musyrik
tidak direstui oleh Allah sedangkan menikah dengan orang-orang mukmin
sudah pasti diridhai-Nya. Oleh karena itu menikahi orang-orang yang
diridhai oleh Allah adalah merupakan aturan yang wajib diindahkan
sehingga implikasi yang akan diperoleh ialah mendapatkan surga dan
keampunan.
Tujuan pernikahan selanjutnya adalah untuk menegakkan hukum-hukum
Allah karena lebih efektif menegakkannya dengan berteman daripada
sendirian. Berdasarkan tujuan ini maka keberadaan teman menikah adalah
merupakan mitra dialog yang saling memberikan kontribusi kepada
masing-masing pihak dalam berbagai urusan termasuk dalam urusan
menegakkan hukum-hukum Allah.
Menegakkan hukum-hukum Allah dalam kehidupan rumah tangga adalah
tanggung jawab bersama suami isteri dan masing-masing pihak seyogianya
memberikan kontrol terhadap pasangan masing-masing. Oleh karena itu
salah satu pihak dianggap zhalim bilamana mendiamkan pasangannya
melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah.
Tujuan berikutnya dari suatu pernikahan adalah untuk mencari karunia
Allah yaitu berupa rezeki yang halal karena rezeki yang tidak halal
tidak termasuk karunia Allah dan pengertian karunia disini dengan rezeki
dapat dipahami dengan adanya kalimat fakir (fuqara’) dan kalimat kaya
(yughni). Pernyataan ini mengindikasikan bahwa suami isteri tidak boleh
bermalas-malasan mencari rezeki karena rezeki adalah salah satu penopang
kehidupan keluarga. Kata karunia dalam redaksi ini dapat dipahami bahwa
pencarian rezeki harus didasari kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku
dan karenanya masing-masing pihak harus selektif agar mendapatkan
rezeki yang direstui oleh Allah. Urgensi pencarian rezeki yang halal dan
baik akan berimplikasi kepada jiwa dan mental anak sehingga baik
tidaknya seorang anak sangat ditentukan oleh nilai hukum rezeki yang
diberikan.
Tujuan-tujuan dar pernikahan inilah yang seharusnya dipegang teguh
secara konsisten oleh pasangan masing-masing sehingga keegoisan dalam
mempertahankan dan menerima pendapat serta pemaksaan kehendak tidak
seharusnya terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
Ide-ide yang muncul dari pihak suami atau isteri harus dipikirkan
secara rasional tidak dengan emosional dan oleh karena itu setiap ide
yang muncul perlu didiskusikan agar memiliki tujuan yang jelas agar
pihak lain tidak merasa terpaksa menerimanya dan hal ini adalah
merupakan gambaran rumah tangga yang demokratis.
Penutup
Tujuan-tujuan yang terdapat dalam pernikahan sebagaimana yang telah
digambarkan oleh Al-Qur’an menunjukkan bahwa perlunya kematangan dan
kesiapan mental bagi yang ingin melaksanakan pernikahan.Kematangan dan
persiapan menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan berada pada
tataran yang sangat serius yang tidak hanya memperhatikan aspek biologis
akan tetapi tak kalah pentingnya ialah memperhatikan aspek psikologi
dan dengan berdasarkan inilah diduga kuat bahwa pernikahan dimasukkan ke
dalam kategori ibadah.