Akhirnya Khalifah Umar bin Khattab menyempatkan diri berkunjung ke
Syria. Seperti biasanya ia menginspeksi semua wilayah kekhalifahan.
Dalam kunjungan itu, beliau menyempatkan diri singgah ke Homs. Kota Homs
ketika itu dinamai pula “Kuwaifah” yang berarti kufah kecil. Khalifah
sering mendengar laporan-laporan miring dari rakyat Homs tentang
Gubernur kota kecil itu, Said bin Amir.
Tatkala Umar sampai di sana, rakyat mengelu-ngelukannya. Mereka
mengucapkan selamat datang. Khalifah bertanya kepada rakyat, “Bagaimana
penilaian Saudara-Saudara terhadap kebijakan gubernur kalian?”
“Ya Khalifah, “ jawab rakyat. “Ada empat macam kelemahan yang hendak kami laporkan kepada Anda.”
“Baik, aku akan pertemukan kalian dengan gubernur kalian,” jawab
Khalifah Umar sambil berdoa. Ia berharap, tidak ada yang salah dengan
Said bin Amir.
Ketika semua pihak telah berkumpul, Khalifahpun kemudian bertanya
kepada rakyat, “Bagaimana penilaian kalian tentang kebijakan gubernur
kalian?”
Pertanyaan Khalifah kemudian dijawab oleh seorang juru bicara.
“Pertama,” ujarnya. “Gubernur Said bin Amir selalu tiba di tempat tugas
setelah matahari tinggi.”
Khalifah Umar bin Khattab melirik gubernurnya, “Bagaimana tanggapanmu mengenai laporan mereka, hai Said?”
Gubernur Said bin Amir diam sejenak. Kemudian dia berkata,
“Sesungguhnya aku keberatan menanggapinya. Tapi, apa boleh buat.
Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Karena itu, tiap pagi aku harus
membuat adonan roti lebih dahulu untuk mereka. Sesudah adonan itu siap
dimasak, barulah aku membuat roti. Kemudian aku berwudhu, barulah
berangkat ke tempat kerja untuk melayani masyarakat.”
“Nah, apalagi laporan kalian?” tanya Khalifah kepada hadirin, setelah menarik napas sejenak.
“Kedua, Gubernur tidak bersedia melayani kami pada malam hari.”
Said bin Amir langsung menjawab. “Hal itu sesungguhnya lebih berat
bagi aku untuk menanggapinya—teruama di hadapan umum seperti ini. Aku
telah membagi waktu, siang hari untuk melayani masyarakat, dan malam
hari untuk bertaqarrub kepada Allah.”
“Apa lagi?” tanya Khalifah kepada hadirin.
“Ketiga, Gubernur tidak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan.”
“Bagaimana tanggapanmu, hai Said?”
“Sebagaimana telah aku terangkan tadi, aku tidak mempunyai pembantu.
Di samping itu, aku hanya memiliki sepasang pakaian saja. Aku mencucinya
sebulan sekali. Bila aku mencucinya, aku terpaksa menunggu kering
dahulu. Setelah itu barulah aku bisa keluar melayani masyarakat.”
“Nah, apalagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.
“Terakhir, Gubernur sering menutup diri untuk bicara. Pada saat-saat
seperti itu beliau biasanya meninggalkan majelis,”ujar juru bicara
rakyat.
Said bin Amir langsung menjawab, “Masalah itu, ketika aku masih
musyrik, aku pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin Ady dihukum mati
oleh kaum kafir Quraisy. Aku menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh
Khubaib hingga berkeping-keping. Pada waktu itu, aku mengejek Khubaib,
‘Sukakah engkau bila Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami
bebaskan?’ Ejekan itu dijawab oleh Khubaib, ‘Aku tidak sudi
bersenang-senang sementara Nabi Muhammad tertusuk duri. ’ Demi Allah,
jika aku teringat peristiwa itu, di mana ketika itu aku tidak sedikitpun
membela Khubaib. Aku selalu merasa bahwa dosaku tidak akan diampuni
Allah swt…”
“Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” ujar Khalifah Umar.
Sekembalinya ke Madinah, Khalifah Umar mengirimi Gubernur Said seribu dinar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melihat jumlah uang sebanyak itu, istrinya berkata pada Said, “Segala
puji bagi Allah. Aku ingin mempergunakan uang ini untuk membeli bahan
pangan dan perlengkapan lain. Aku ingin pula menggaji seorang pembantu
rumah tangga kita.”
“Adakah usul yang lebih baik daripada itu?” tanya Said bin Amir pada istrinya.
“Apa pulakah usul yang lebih baik daripada itu?” istrinya kembali balik bertanya.
“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita,” jawab Said.
“Mengapa?” tanya istrinya lagi.
“Dengan begitu, berarti kita menyimpan uang ini di sisi Allah. Itulah
cara yang lebih baik,” jawab Said dengan mata berbinar-binar.
Istrinya setuju. Sebelum mereka meninggalkan majelis, uang itu di
masukkan Said ke dalam beberapa pundi. Lalu diperintahkannya kepada
salah seorang keluarganya. “Berikan pundi ini kepada janda si fulan.
Berikan juga pundi ini kepada anak yatim si fulan. Ini kepada si fulan
yang miskin. Ini untuk si fulan yang …”
Semoga Allah meridhai Said bin Amir. Ia menyadari bahwa cara terbaik
untuk mensyukuri nikmat Allah, salah satunya, dengan membagi rezekinya.
Menginfakkannya. Menyedekahkannya. Karena, pada kebahagiaan yang kita
miliki, ada juga yang bisa disedekahkan untuk orang lain. Sebagai syukur
terhadap Allah yang telah memberikan segalanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)