Selepas perluasan Masjidil Haram oleh Khalifah Ahmad bin Thalhab
Al-Mu’tahid, terjadi dua peristiwa penting di masa kekhalifahan Ja’far
bin Ahmad Al-Muqtadir. Pertama, dia memperluas masjidil Haram di area
sebelah barat laut. Kedua, terjadi pencurian Hajar Aswad oleh sekte
Qaramithah yang mula-mula tumbuh dan berkembang di Kufah pada tahun 277
H.
Hamdan bin Asy’ats mula-mula membawa ajaran kebatinan ini Kufah, untuk
kemudian menyebarkannya hingga ke Syam, Irak, Yaman dan Hijaz. Khalifah
Ahmad bin Thalhab Al-Mu’thadid berusaha menghancurkan sekte sesat ini,
hingga mereka hancur di Kufah dan Syam. Namun, salah seorang jebolan
sekte tersebut, Abu Said Al-Husain Al-Janabi, berhasil menyerukan
ajarannya di Bahrain pada tahun 287 H dan anaknya, Abu Thahir Sulaiman
bin Abu Said Al-Husain Al-janabi, membangun kota Ihsa sebagai basis
pemerintahan dan pertahanan.
Menurut Ibnu katsir, pemimpin sekte ini, Abu Muhammad ‘Ubaidillah bin
Maimun Al-Qadah mulanya adalah seorang Yahudi yang berprofesi sebagai
tukang emas. Dia kemudian masuk Islam dan mengklaim sebagai ahlul bait.
Banyak orang-orang suku Barbar dari Afrika yang kemudian percaya padanya
sehingga dia berhasil menguasai wilayah-wilayah tersebut.
Siapapun sebetulnya mereka, yang jelas Abu Thahir Sulaiman bin Abu Said
Al-Husain AL-Janabi menyerang Masjidil Haram. Penyerangan dilakukan
dengan senyap. Sekelompok orang dari mereka bergabung bersama jamaah
haji irak dipimpin oleh Manshur Ad-Dailami. Bersama-sama, rombongan
jamaah haji itu masuk ke dalam Masjidil Haram, masing-masing khusyuk
melaksanakan ibadah.
Ketenangan itu tiba-tiba pecah ketika tentara sekte Qaramithah
mengeluarkan pedang dan melakukan pembantaian. Para jamaah lari
tunggang-langgang untuk menyelamatkan diri. Sebagian pasrah dengan
berpegang kelambu Kakbah. Satu demi satu jamaah yang panik itu jatuh
terkena sabetan pedang.
Abu Thahir lalu berdiri di pintu Kakbah. Dengan dikawal tentaranya, dia
berkata dengan angkuh, “Aku adalah Allah. Aku bersama Allah. Akulah yang
menciptakan makhluk-makhluk dan aku pula yang membinasakan mereka.”
Pembantaian terus berlangsung. Tubuh-tubuh menjadi mayat bergelimpangan
memenuhi Masjidil Haram. Darah mengotori lantai tempat suci itu.
“Kuburkan mereka di sumur zam-zam!” perintah sang kepala pemberontak.
Sumur pun dibongkar dan dirusak. Mayat-mayat jamaah diseret dan
dilemparkan ke dalamnya. “Copot pintu Kakbah, lepaskan juga kiswahnya
!.”
Pintu Kakbah didobrak dan kiswahnya dilepaskan. Ketika diserahkan kepada
Abu Thahir Sulaiman, kiswah itu dirobek-robek. “Kau, naiklah ke atas
Kakbah dan copotlah talangnya !.”
Orang itu lalu naik ke atas Kakbah, namun ketika hendak mencopot talang,
dia terjatuh dan mati saat itu juga. Semua orang terkejut. Mereka
terdiam. Namun, kesombongan telah membutakan mata hati kepala
pemberontak itu. Dia berteriak, “Bongkar Hajar Aswad !”
Kini pasukan itu bergerak ke sudut dekat pintu, berusaha mencongkel batu
tersebut. Begitu berhasil dicongkel, batu itu terjatuh dan pecah
menjadi 8 bagian. Mereka mengumpulkan kedelapan pecahan batu itu dan
bersiap membawanya keluar Makkah. Sebelum meninggalkan masjid suci itu.
Abu Thahir Sulaiman masih sempat berteriak, “Mana burung-burung Ababil ?
Mana bebatuan dari neraka Sijjil ?”
Ketika mereka hendak meninggalkan Mekkah, Amir Mekkah dan keluarganya
datang menghadang, “Kembalikan kepada kami Hajar Aswad dan seluruh
kekayaanku akan kuserahkan padamu”
“Aku membawanya berdasarkan perintah” jawab Abu Thahir Sulaiman, “maka
aku akan mengembalikannya hanya jika ada perintah.” Amir Mekkah dan
keluarganya lalu dibantai tanpa ampun.
Pecahan-pecahan Hajar Aswad dinaikkan ke punuk beberapa unta, yang
setiap dari mereka berjalan tertatih-tatih akibat kepayahan. Punuknya
konon berdarah dan mengeluarkan nanah. Abu Thahir beserta rombongannya
pergi menuju Kota Ihsa.
Setibanya di Ihsa, dia menantang setiap khalifah negeri Islam untuk
datang mengambil Hajar Aswad. Namun, saat itu negeri-negeri Islam
terpecah dan nyaris tidak memiliki pasukan yang tangguh.
Ketegangan penyebuan dan pencurian Hajar Aswad yang menelan tak kurang
dari 30.000 jamaah dan penduduk Mekkah tersebut. Selama 22 tahun, Hajar
Aswad berada di kota Ihsa. Sebagian sejarawan menyebut di kota Hijir,
Arabia Barat.
Terdapat beberapa pendapat mengenai skenario kembalinya Hajar Aswad ke
kakbah. Menurut Ahmad Al-Usairy, Hajar Aswad dikembalikan setelah ada
permintaan raja Fathimiyyah Mesir kepada pemimpin sekte Qaramithah.
Ada yang menyebutkan Hajar Aswad dikembalikan setelah khalifah Al-Fadhl
bin Ja’far yang bergelar Al-Muthi’illah menebusnya dengan uang sebesar
3.000 dinar.
Pendapat lainnya menyebutkan, Hajar Aswad dikembalikan atas kesadaran
Abu Thahir Sulaiman sendiri. Alkisah, Abu Thahir membawa pecahan Hajar
Aswad dan menggantungkannya di tiang-tiang Masjid Kufah agar semua orang
melihatnya. Kemudian, dia menulis sebuah ketetapan, “Kami dahulu
mengambilnya atas sebuah perintah dan kini mengembalikannya juga atas
sebuah perintah agar manasik haji umat menjadi lancar.”
Hajar Aswad dikirimkan kembali ke Mekkah di atas seekor unta, yang
berjalan dengan sigap tanpa kepayahan. Rombongan pembawa Hajar Aswad itu
tiba di Mekkah bulan Dzulqa’dah tahun 339 H.
Abu Thahir diceritakan menderita lepra hingga meninggal, ada pula yang menyebut sekte itu hancur di tangan Abdullah Al-Uyuni.
Hajar Aswad yang pecah menjadi 8 bagian itu kemudian direkatkan pada
sebuah batu besar, diikat dengan lingkaran perak, dan ditaruh kembali di
tempatnya semula di salah satu sudut Ka'bah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)