Kata uswah atau keteladanan dalam Al-Qur’an hanya ditujukan pada dua
tokoh nabi yang sangat mulia, Nabi Ibrahim a.s. (Mumtahanah: 4,6) dan
Nabi Muhammad saw. (Al-Ahzab: 21). Demikian juga gelar khalilullah
(kekasih Allah) hanya disandang oleh kedua nabi tersebut. Begitu juga
shalawat yang diajarkan Rasulullah saw. pada umatnya hanya bagi dua nabi
dan keluarganya. Pilihan Allah ini sangat terkait dengan risalah yang
telah dilakukan oleh keduanya dengan sangat sempurna.
Sejarah dan keteladan Nabi Muhammad saw. telah banyak disampaikan.
Dan pada kesempatan ini marilah kita sedikit menyingkap sejarah dan
keteladanan Nabi Ibrahim a.s. dan keluarganya. “Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, `Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, `(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku.’ Allah berfirman, `Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang-orang yang zalim.’” (Al-Baqarah: 124)
Berkata Ibnu Abbas r.a., “Belum ada para nabi yang mendapatkan ujian
dalam agama kemudian menegakkannya dengan sempurna melebihi Ibrahim as.”
Ibnu Abbas banyak menyebutkan riwayat tentang ujian yang dilaksanakan
Ibrahim a.s, di antaranya manasik atau ibadah haji; kebersihan, lima
pada bagian kepala dan lima pada tubuh. Lima di bagian kepala yaitu
mencukur rambut, berkumur, membersihkan hidung, siwak, dan membersihkan
rambut. Lima pada bagian tubuh yaitu menggunting kuku, mencukur rambut
bagian kemaluan, khitan, mencabut rambut ketiak, dan istinja.
Dalam riwayat lain Ibnu Abbas mengatakan, “Kalimat atau tugas yang
dilaksanakan dengan sempurna yaitu meninggalkan kaumnya ketika mereka
menyembah berhala, membantah keyakinan raja Namrud, bersabar ketika
dilemparkan ke dalam api yang sangat panas, hijrah meninggalkan tanah
airnya, menjamu tamunya dengan baik, dan bersabar ketika diperintah
menyembelih putranya.
Firman Allah yang berbunyi `faatammahunna’ mengandung makna bahwa
tugas yang diperintahkan kepada Ibrahim dilaksanakan dengan segera,
sempurna, dan dilakukan semuanya. Menurut Abu Ja’far Ibnu Jarir, “Yang
di maksud `kalimat’ boleh jadi mengandung semua tugas, atau sebagiannya.
Tetapi tidak boleh menetapkan sebagian (tugas) tertentu kecuali ada
dalil nash atau ijma’ yang membolehkannya.
Ibrahim dan Kaumnya
Ibrahim as. bin Nahur dalam Al-Qur’an bapaknya dinamakan Aazar,
tetapi yang lebih kuat bahwa Aazar adalah nama berhala yang dinisbatkan
pada bapak Ibrahim, karena pekerjaannya yang senantiasa membuat berhala
adalah seorang yang mendapat karunia teramat besar dari Allah. Semenjak
kecil beliau terbebas dari kemusyrikan bapak dan kaumnya. Ibrahim
menjadi seorang yang hanif dan imam bagi manusia (An-Nahl: 120-121). Dan
Ibrahim sangat bersemangat untuk mendakwahi bapaknya dan kaumnya agar
hanya menyembah Allah saja. Ini adalah sunnah dakwah bahwa yang pertama
kali harus didakwahi adalah orang tua dan keluarga, kemudian kaum dan
penguasa.
Menurut pendapat yang kuat, Ibrahim lahir di kota Babil (Babilonia),
Irak. Penduduk kota Babil menyembah berhala. Dan bapaknya termasuk orang
yang ahli dalam membuat berhala. Ibrahim membantah penyembahan mereka,
bahkan berencana untuk menghancurkan berhala-berhala itu. Peristiwa ini
diabadikan dalam beberapa surat, di antaranya di QS. 21: 51-70, 26:
69-82, dan 37: 83-98.
Penduduk kota Babil memiliki tradisi merayakan Id setiap tahun dengan
pergi keluar kota. Ibrahim diajak bapaknya untuk ikut, tetapi Ibrahim
menolak dengan halus. Ia berkata, “Sesungguhnya Aku sakit.”
(Ash-Shaaffat: 88-89). Dan ketika kaumnya pergi untuk merayakan Id,
Ibrahim segera menuju penyembahan mereka dan menghancurkan dengan kampak
yang ada di tangannya. Semua dihancurkan dan hanya disisakan satu
berhala yang besar, dan kampak itu dikalungkan pada berhala itu.
(Al-Anbiya’: 58)
Demikianlah, Ibrahim menghinakan penyembahan kaumnya. Sebenarnya
mereka sadar akan kesalahan itu. Tetapi, yang berjalan pada mereka
adalah logika kekuatan melawan kekuatan logika Ibrahim. Akhirnya mereka
memutuskan untuk membakar Ibrahim (Ash-Shaaffat : 97; Al-Anbiya’:
68-70).
Ibrahim dan Raja An-Namrud
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya (Allah) karena Allah Telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: `Tuhanku ialah yang
menghidupkan dan mematikan,’ orang itu berkata: `Saya dapat
menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata: `Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.’
Lalu, terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang zhalim.”
Menurut ulama tafsir dan nasab, raja itu adalah Raja An-Namrud bin
Kan’an, penguasa Babil. menurut As-Sudy, “Debat ini terjadi antara
Ibrahim dan Raja Namrud setelah Ibrahim selamat dari upaya pembunuhan
dibakar api.” Zaid bin Aslam berpendapat, “Ibrahim diutus pada raja yang
diktator tersebut, memerintahkan agar beriman kepada Allah.
Berkali-kali diseru agar beriman, tetapi terus menolak. Kemudian
menantang Ibrahim a.s. agar mengumpulkan pengikutnya dan Namrud pun
mengumpulkan rakyatnya lantas terjadilah debat yang disebutkan Al-Qur’an
tersebut.” Sekali lagi kekuatan logika Ibrahim a.s. mengalahkan logika
kekuasaan Namrud.
Kisah kematian Raja Namrud dan tentaranya disebutkan dalam Kitab
al-Bidayah wa an-Nihayah Ibnu Katsir. Namrud mengumpulkan tentara dan
pasukannnya saat terbit matahari. Kemudian Allah mengutus nyamuk yang
menyebabkan para tentara dan pasukannya tidak dapat lagi melihat
matahari. Nyamuk-nyamuk besar itu memakan daging dan darah mereka dan
meninggalkan tulangnya. Salah satu nyamuk masuk ke hidung Raja Namrud
dan diam di sana selama 400 tahun sebagai bentuk adzab Allah atas raja
itu. Selama waktu itu pula Namrud senantiasa memukuli kepalanya hingga
ia mati.
Ibrahim dan Keluarganya Hijrah ke Baitul Maqdis
Setelah selamat dari upaya pembunuhan kaumnya dan setelah terbebas
dari kezhaliman Raja Namrud, Ibrahim a.s. bersama istrinya, Sarah,
bapak, dan saudara sepupunya, Luth a.s. hijrah menuju Syam. Tepatnya ke
Baitul Maqdis, Palestina (Ash-Shaaffat: 99).
Di tengah jalan, di daerah Haran, Damasqus, bapaknya meninggal.
Ibrahim bersama keluarganya menetap sementara di Haran. Penduduk kota
ini menyembah bintang dan berhala. Di kota ini Ibrahim a.s. menyinggung
dan menentang penyembahan mereka yang menyembah bintang, bulan, dan
benda langit lainnya. Kisah ini diabadikan dalam Alquran surat 6:75-83.
Ibrahim a.s. dan keluarganya melanjutkan perjalanan ke Baitul Maqdis
setelah sebelumnya mampir di Mesir. Dari Mesir Ibrahim a.s. mendapat
banyak hadiah harta, binatang ternak, budak, dan pembantu bernama Hajar
yang keturunan Qibti, Mesir. Di Baitul Maqdis Ibrahim a.s. mendapat
penerimaan yang baik.
Selama dua puluh tahun tinggal di Baitul Maqdis, Ibrahim a.s. tidak
mendapatkan keturunan sehingga istrinya, Sarah, merasa kasihan dan
memberikan budaknya pada Ibrahim. Berkata Sarah pada Ibrahim,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan aku untuk mendapatkan anak.
Masuklah pada budakku ini, semoga Allah memberi rezki anak pada kita.”
Setelah itu, lahirlah Ismail a.s. Tetapi Sarah merasa cemburu berat.
Akhirnya, Ibrahim a.s. membawa Hajar dan putranya ke suatu tempat yang
disebut Gunung Faran (Mekah sekarang), suatu tempat yang sangat tandus,
padang pasir yang tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Dan tidak lama setelah kelahiran Ismail a.s., Allah juga memberi
kabar gembira bahwa dari perut Sarah akan lahir seorang anak. Lahirlah
Ishaq a.s. Ibrahim a.s. sujud, bersyukur atas karunia yang sangat besar
ini. Puncak kenikmatan yang diberikan Allah kepada Ibrahim adalah kedua
putra itu kelak menjadi nabi dan secara turun-temurun melahirkan nabi.
Dari Ishak a.s. lahir Ya’kub dan Yusuf a.s. serta keluarga nabi dari
Bani Israil. Sedangkan dari keturunan Ismail a.s. lahirlah Nabi Muhammad
saw.
Pengorbanan Ibrahim Dan Keluarganya Episode berikutnya dilalui
Ibrahim a.s. dan keluarganya dengan pengorbanan demi pengorbanan. Tidak
ada pengorbanan yang lebih besar dari seorang kepala rumah tangga
melebihi pengorbanan meninggalkan putra dan istri yang paling
dicintainya. Tetapi itu semua dilakukan Ibrahim dengan penuh ikhlas
menyambut seruan Allah, yaitu seruan dakwah. Peristiwa ini diabadikan
Allah dalam Al-Qur’an di surat 14:37-40.
Disebutkan dalam riwayat, ketika Ibrahim a.s. akan meninggalkan
putranya, Ismail, istrinya, Hajar, saat itu dalam kondisi menyusui.
Ketika Ibrahim meninggalkan keduanya dan memalingkan wajah, Hajar
bangkit dan memegang baju Ibrahim. “Wahai Ibrahim, mau pergi ke mana?
Engkau meninggalkan kami di sini dan tidak ada yang mencukupi kebutuhan
kami?” Ibrahim tidak menjawab. Hajar terus-menerus memanggil. Ibrahim
tidak menjawab. Hajar bertanya, “Apakah Allah yang menyuruhmu seperti
ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.’ Hajar berkata, “Kalau begitu pasti Allah
tidak akan menyia-nyiakan kita.”
Tapi, itu bukan puncak pengorbanan Ibrahim dan keluarganya. Puncak
pengorbanan itu datang dalam bentuk perintah yang lebih tidak masuk akal
lagi dari sebelumnya. Ibrahim diperintah untuk menyembelih Ismail
(Ash-Shaaffat: 102-109).
Berkah Pengorbanan Kisah dan keteladanan Ibrahim a.s. memberikan
pelajaran yang sangat dalam kepada kita bahwa pengorbanan akan
melahirkan keberkahan. Ibrahim menjadi orang yang paling dicintai Allah,
khalilullah, imam, abul anbiya (bapak para nabi), hanif, sebutan yang
baik, kekayaan harta yang melimpah ruah, dan banyak lagi. Hanya dengan
pengorbananlah kita meraih keberkahan.
Dari pengorbanan Ibrahim dan keluarganya, Kota Makkah dan sekitarnya
menjadi pusat ibadah umat manusia sedunia. Sumur Zamzam yang penuh
berkah mengalir di tengah padang pasir dan tidak pernah kering. Dan
puncak keberkahan dari itu semua adalah dari keturunannya lahir seorang
manusia pilihan: Muhammad saw., nabi yang menjadi rahmatan lil’alamiin.
Pengorbanan akan memberikan keberkahan bagi hidup kita, keluarga, dan
keturunan kita. Pengorbanan akan melahirkan peradaban besar. Kisah para
pahlawan yang berkorban telah membuktikan aksioma ini: Ibrahim dan
keluarganya Ismail, Ishaq, Siti Sarah dan Hajar; Muhammad saw. dan
keluarganya siti Khadijah, `Aisyah, Fatimah, dan lain-lain.
Begitu juga para sahabat yang mulia: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
dan lain-lain. Para pemimpin setelah sahabat, tabi’in, dan tabiit
tabi’in: Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Mubarak,
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Tak
ketinggalan para pahlawan dari generasi modern juga telah mencontohkan
kepada kita. Mereka di antaranya Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul
Wahab, dan Hasan Al-Banna. Dan kita yakin akan terus bermunculan
pahlawan-pahlawan baru yang siap berkorban demi kemuliaan Islam dan
umatnya. Sesungguhnya, bumi yang disirami oleh pengorbanan para nabi,
darah syuhada, dan tinta ulama adalah bumi yang berkah.
Thursday, 29 August 2013
0 Comments
Subscribe to:
Post Comments (Atom)