Diserang dan dibombardir Israel, Gaza
memiliki banyak kisah keajaiban. Atau lebih tepatnya, karamah dari
Allah. Seperti kisah nyata yang dituturkan oleh Imam Masjid An Nur di
kampung Syaikh Ridwan ini, yang juga disaksikan oleh jamaah masjid
tersebut.
Kisah nyata ini terjadi pada perang Al Furqan, tepatnya Desember 2008.
Saat itu Israel membombardir Gaza selama 22 hari. Bukan hanya manusia
yang diincar oleh pesawat-pesawat tempur Zionis, tetapi juga
masjid-masjid. Salah satu masjid yang menjadi sasaran rudal Israel itu
adalah Masjid An Nur.
Di langit kampung Syaikh Ridwan, suara F-16 Israel laksana sirine
kematian yang menakutkan bagi banyak orang. Kecepatan pesawat tempur itu
seketika mempercepat denyut jantung warga yang melihatnya. Perasaan
dekat dengan kematian menggelayuti jiwa orang tua, wanita, hingga para
remaja. Seakan malaikat maut telah tampak di depan mata. Memanggil,
dengan seruannya yang menggelegar, membuat bulu kuduk berdiri. Tetapi
bagi penduduk Gaza yang kokoh imannya, mereka yang hatinya dekat dengan
masjid, tawakal kepada Allah membuat mereka berani menghadapi apapun.
Termasuk siap mati kapan saja. Raungan F-16 tidak menambah apapun
kecuali keyakinan kepada Allah, bahwa Dia yang menggenggam jiwa manusia.
Tidak ada yang sanggup mengambil nyawa kecuali Dia. Secanggih apapun
senjata, sehebat apapun mesin perang.
“Bhuouommmmmm.......” terdengar ledakan rudal berkali-kali. Tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Hening sesaat. Kemudian suara kepanikan mulai terdengar diantara warga
yang berhamburan memeriksa keadaan, setelah F-16 menghilang. Untuk
sementara, entah berapa lama ia kembali ke atas kampung mereka...
Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Siapakah yang lebih durjana
selain yahudi keturunan kera. Siapakah yang lebih biadab daripada kaum
yang menghancurkan rumah-rumah Allah? Rupanya jet tempur Israel itu
membombardir Masjid An Nur. Masjid yang menjadi tempat sujud kaum
muslimin di kampung Syaikh Ridwan itu kini telah hancur
berkeping-keping. Rata dengan tanah. Bahkan, tidak satupun bebatuan yang
tersisa, semuanya hancur, atau minimal pecah.
Warga memeriksa masjid kesayangan mereka dengan duka yang menyesakkan
dada. O, siapakah yang hatinya tidak teriris melihat tempat sujudnya
diratakan dengan tanah. Siapakah yang air matanya tidak meleleh
menyaksikan rumah Allah diluluhlantakkan. Bagi seorang mukmin, bahkan
jika tubuhnya disayat pedang, itu masih lebih ringan daripada masjidnya
dirobohkan. Bagi seorang mukmin, dadanya ditembus peluru masih lebih
ringan baginya daripada tempat mengaji anak-anak, tempat shalat jamaah,
dan tempat munajatnya dihancurleburkan.
Warga mendapatkan semuanya hancur. Hingga batu-batu penyusun bangunan
masjid itu. Namun, betapa terkejutnya mereka. “Allaahu akbar!” takbir
pantas dikumandangkan menyaksikan tanda-tanda kebesaranNya. Tumpukan
mushaf di masjid itu masih utuh. Bahkan tidak sobek sedikitpun.
“Masjid ini dihancurkan dengan tiga rudal. Semuanya hancur lebur. Tak
tersisa satupun batu yang utuh dari bangunannya,” kata Abu Ahid, sang
imam masjid, “kecuali tumpukan mushaf Al Qur’anul karim yang masih utuh
tanpa ada sobekan sedikitpun. Subhanallah... ini adalah perlindungan
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang luar biasa.”
Yang lebih ajaib, diantara mushaf itu ada yang terbuka, tepat pada
halaman di mana di ayat itu Allah menerangkan ujian, kesabaran, dan
janji kemenangan.
“Kami mendapatkan sejumlah mushaf dalam kondisi terbuka. Lembaran yang
terbuka itu tepat pada ayat-ayat kemenangan dan kesabaran. Diantaranya
surat Al Baqarah ayat 155: ‘Dan pasti kami akan menguji kalian dengan
suatu ketakutan dan kelaparan...’” tambah Abu Ahid memungkasi kisah
nyata ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)